REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fitriyan Zamzami, Marniati
Pemerintah Cina di wilayah otonomi Xinjiang Uighur mendirikan kemah guna “mendidik” warga yang menurut mereka terpapar ideologi ekstremis. Langkah tersebut dinilai sebagai legalisasi keberadaan kemah-kemah reedukasi yang menurut PBB dan sejumlah lembaga pegiat HAM internasional telah diisi sekitar sejuta etnis Muslim Uighur.
“Pemerintah lokal diizinkan mendirikan institusi yang menyediakan pelatihan vokasional dan konseling psikologis untuk warga yang terpengaruh gagasan-gagasan ekstremis,” dilansir Global Times, media corong Partai Komunis Cina, pada Rabu (10/10) malam. Amendemen regulasi itu, menurut Global Times, disetujui Komite ke-13 Kongres Rakyat Wilayah Otonomi Xinjiang Uighur pada Selasa (9/10). Begitu disetujui, regulasi tersebut langsung dijalankan.
Legalisasi institusi lokal tersebut disertakan dalam amendemen regulasi sebelumnya yang melarang penggunaan “simbol-simbol ekstremisme”, seperti janggut yang dipanjangkan, jilbab bagi perempuan, serta keengganan menonton televisi nasional atau mendengarkan radio nasional.
Regulasi tersebut juga memuat definisi mendetail soal aktivitas ekstremisme, langkah pengamanan, serta tanggung jawab pemerintah. Beleid baru juga membolehkan pemerintah lokal menerapkan hukuman yang lebih keras terhadap aktivitas yang dianggap terkait ekstremisme.
Teguran dari aparat keamanan bagi pelanggaran-pelanggaran ringan, misalnya, akan diganti. “Amendemen terbaru kini mengizinkan otoritas memberikan hukuman lebih berat,” kata pakar studi etnis Xiong Kunxin, seperti dikutip Global Times. Ia tak memerinci hukuman tersebut.
Di antara tindakan ekstremisme tersebut adalah kegiatan yang mengganggu kebebasan beragama warga lain atau pertunjukan publik kegiatan kebudayaan. Selain itu, mengenakan tanda-tanda yang dianggap mendukung ekstremisme atau perusakan fasilitas umum juga dikenai hukuman.
Menurut Global Times, badan administratif telah dibentuk untuk mengorganisasi dan mengoordinasikan legalisasi dan standardisasi institusi-institusi reedukasi tersebut. Zhu Weiqun, mantan kepala Badan Urusan Etnis dan Agama di Komite Nasional Konsultasi Politik Cina, mengatakan, yang mereka lakukan memang legalisasi upaya-upaya antiekstremisme.
Ia mengakui, ada kritik dari mancanegara soal upaya antiekstremisme Cina. Atas kritik-kritik tersebut, Zhu mengatakan, negara luar tak pantas berkomentar karena di negara mereka sendiri radikalisme dan ekstremisme terbukti meningkat.
Sebelum legalisasi tersebut diregulasikan, Pemerintah RRC selalu menyangkal keberadaan barak-barak reedukasi yang menyasar Muslim Uighur. Mereka menyangkal laporan PBB pada Agustus lalu yang menemukan sedikitnya sejuta Muslim Uighur ditempatkan di barak-barak dalam keadaan memprihatinkan untuk mendapatkan indoktrinasi ideologi komunis.
Muslim Uighur dengan populasi mencapai 11,3 juta di Xinjiang merupakan etnis yang berbeda dengan kebanyakan warga Cina. Gerakan menuntut kemerdekaan sejak lama bergelora di wilayah barat laut Cina itu.
Beijing kemudian merespons tuntutan tersebut dengan kebijakan tangan besi di Uighur. Tak seperti saudara-saudara Muslim mereka dari etnis Hui yang lebih leluasa menjalankan ajaran Islam, Muslim Uighur lebih dibatasi.
Menurut Direktur Amnesty International Asia Timur Nicholas Bequelin dalam rilis yang dikirim ke Republika akhir September lalu, pemerintah setempat dalam setahun terakhir meningkatkan kampanye penahanan massal, pengawasan intrusif, indoktrinasi politik, serta asimilasi paksa terhadap etnis Uighur dan Kazakhs serta kelompok etnis lainnya.
Mayoritas keluarga korban tidak mendapatkan informasi mengenai nasib kerabat mereka. Mereka juga ketakutan untuk berbicara mengenai penahanan tersebut.
“Pemerintah Cina tidak boleh diizinkan untuk terus melakukan kampanye kejam ini terhadap etnis minoritas di barat laut Cina. Pemerintah di seluruh dunia harus meminta pertanggungjawaban Cina atas kekejaman yang terungkap di Xinjiang,” kata Nicholas Bequelin.
Menurut Bequelin, keluarga etnis Muslim tersebut telah cukup menderita. Ratusan ribu keluarga telah tercerai-berai oleh kampanye masif ini. Mereka putus asa mencari informasi mengenai apa yang terjadi pada orang-orang yang mereka cintai.
Dalam laporan terbaru Amnesty International, mereka mewawancarai lebih dari 100 orang di luar Cina yang telah kehilangan anggota keluarga mereka di Xinjiang dan orang-orang yang disiksa di barak-barak penahanan di sana.
Amnesty International mencatat, penahanan orang-orang dari kelompok etnis mayoritas Muslim di XUAR meningkat sejak Maret 2017, ketika aturan terkait “deradikalisasi” diadopsi di daerah tersebut. Secara terbuka atau pribadi menunjukkan afiliasi agama dan budaya, termasuk menumbuhkan janggut, menggunakan hijab, melaksanakan ibadah, berpuasa, atau tidak meminum alkohol, atau memiliki buku atau artikel terkait Islam ataupun budaya Uighur dapat dianggap sebagai ekstremis.