Dengan latar pengambilan video di lokasi wisata yang instagramable, penonton seolah 'terhipnotis' pesona alam dan budayanya. Bahkan, foto menggunakan Hanbok (pakaian tradisional Korsel) menjadi menu wajib tatkala melancong ke sana.
Efek publikasi pariwisata melalui film sudah tidak perlu diragukan lagi. Yang terkini, pariwisata Singapura sempat menikmati dampaknya pascademam film Crazy Rich Asians melanda.
Konon, generasi milenial berkantong tebal berbondong-bondong mengambil liburan pendek ke Negeri Singa itu hanya untuk mencitrakan diri mereka sebagai bagian dari kelompok Crazy Rich.
Tentu masih terngiang di benak kita bagaimana rasa bangga muncul ketika film Hollywood Eat, Pray, Love (2010) mengambil lokasi syuting di Bali. Promosi cuma-cuma oleh artis internasional dipercaya mampu mengangkat citra positif Pulau Dewata.
Sayangnya, kita sudah jarang lagi mendengar hal serupa kembali terjadi di Indonesia. Media promosi konvensional, seperti iklan di media, pameran, dan promo paket perjalanan wisata tentu tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Cara tersebut harus tetap dipertahankan karena memiliki daya tarik tersendiri. Namun, dalam konteks kekinian, strategi promosi pariwisata seyogianya diselaraskan dengan perubahan gaya hidup zaman sekarang.
Gaya pemasaran pariwisata berbasis story telling wajib diimplementasikan. Karena itu, sinergitas dengan sineas-sineas kreatif Tanah Air akan memainkan peran penting.