Kamis 11 Oct 2018 02:40 WIB

Hingga Agustus 2018, KPK Terima 3.811 Aduan Kasus Korupsi

Dari 3811 laporan tersebut, sebanyak 968 laporan telah selesai ditelaah.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setidaknya telah menerima 3811 aduan masyarakat terkait kasus dugaan korupsi, sejak 1 Januari 2018 hingga 31 Agustus 2018. Dari 3.811 laporan tersebut, sebanyak 968 laporan telah selesai ditelaah.

Berdasarkan data statistik KPK pada 30 Juni 2018, KPK telah melakukan penanganan kasus korupsi dengan rincian penyelidikan 84 perkara, penyidikan 93 perkara, penuntutan 63 perkara, inkracht 55 perkara, dan eksekusi 54 perkara, sepanjang 2018.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan dari tahun ke tahun, semakin banyak laporan dari masyarakat tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan penyelenggara atau pejabat negara. Meningkatnya operasi tangkap tangan (OTT) merupakan salah satunya bukti peran serta masyarakat.

Diketahui Presiden Jokowi meneken PP Nomor 43 Tahun 2018 dan telah diundangkan oleh Kementerian hukum dan HAM (Kemenkumham) tertanggal 18 September 2018. PP Nomor 43 Tahun 2018 itu telah masuk dalam lembaran negara RI tahun 2018 nomor 157. Dalam aturan tersebut terdapat premi Rp 200 juta bagi pelapor kasus korupsi.

Saut menerangkan, terkait premi Rp 200 juta untuk pelapor kasus korupsi tetap harus melewati penilaian oleh penegak hukum, termasuk KPK. Menurutnya, penegak hukum akan melakukan penilaian terhadap tingkat kebenaran laporan yang disampaikan oleh pelapor dalam upaya pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi.

Penilaian itu dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari kerja terhitung sejak salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima oleh jaksa. Bahkan, dalam memberikan penilaian, penegak hukum mempertimbangkan peran aktif pelapor dalam mengungkap tindak pidana korupsi, kualitas data laporan atau alat bukti, dan risiko bagi pelapor.

"Keren itu, paling tidak untuk sementara waktu jalan dululah. Semua cara harus digunakan untuk mencegah dan memberantas korupsi, makanya itu disebut korupsi itu ekstra ordinary crime," ujarnya.

Bahkan, sambung Saut, ia mengusulkan secara bertahap hadiah bagi pelapor kasus korupsi bisa meningkat, dari sekian permil sampai maksimal 10 persen atas nilai kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi tersebut. Ia pun membandingkan dengan aturan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, di mana pihak yang menemukan barang diganjar hadiah dengan nilai 10 persen dari barang tersebut.

"Itu di Bea Cukai kalau dapat temuan bisa dapat 10 persen asyik juga kan? Jadi kalau di Bea Cukai perbandingan dengan skema uang ganjaran pejabat/pegawai penemu bisa dapat 10 persen," kata Saut.

Pegiat antikorupsi dari Transparency International Indonesia (TII), Dadang Trisasongko menilai adanya pemberian premi ini tidak serta merta membuat jumlah pelaporan korupsi meningkat drastis.

"Sebab ada beberapa pertimbangan bagi seseorang yg mengetahui korupsi untuk melaporkannya ke penegak hukum, yaitu: perlu pengetahuan dan ketrampilan tertentu, perlu adanya kepercayaan mereka thd lembaga publik, dan perlu adanya keberanian menghadapi risiko," terang Dadang.

Sementara Aktivis ICW Adnan Topan mengatakan tidak semua laporan masyarakat mengenai seseorang yang mempunyai indikasi korupsi dapat diberi hadiah tersebut. Karena, bila indikasi kasus korupsi tersebut hanya memiliki nominal kecil, maka pelapor tidak bisa diberikan hadiah dengan nominal Rp 200 juta.

Aktivis ICW itu juga berharap dengan adanya PP ini, maka masyarakat semakin banyak yang melaporkan kasus korupsi. Dan ia juga berharap penegak hukum bisa merespons balik laporan dari masyarakat tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement