REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Fuji E Permana dari Sigi.
Sore itu seorang anak perempuan berusia 13 tahun sedang menjajakan dagangan di Pasar Inpres Manonda yang terletak di Jalan Kacang Panjang, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sambil menawarkan jeruk dan tomat pada raut wajahnya membekas rasa cemas dan takut.
Gempa bumi berkekuatan 7,4 skala Richter belum lama ini mengguncang desanya. Membuat seisi desa panik dan berhamburan, pengalaman ini membuat wajah dan usianya yang ranum tidak bisa menyembunyikan rasa cemas. Meski bisa berjualan di pasar, gempa bumi masih melekat dalam ingatan.
Saat melayani pembeli, Nur Fainah yang masih duduk di bangku sekolah kelas 2 SMP itu tersenyum untuk menawarkan keramahan. Namun, tatapan mata dan suaranya tidak bisa menyembunyikan kesedihan di hadapan para pembeli. Dampak gempa bumi masih menghantui ingatannya.
Fainah bercerita, dia sekolah di SMP Negeri 5 Sigi, pascabencana gempa bumi dan tsunami belum melihat bangunan sekolah. Dia masih takut berangkat ke sekolah. Karenanya anak berusia 13 tahun itu lebih memilih ikut membantu ibunya berjualan di pasar.
"Belum lihat bangunan sekolah, teman-teman juga belum ada yang sekolah, teman-teman masih takut gempa bumi," kata Fainah sambil tersenyum malu dan kaku bercampur haru, matanya berkaca-kaca.
Fainah ingin bertemu teman-teman sekolahnya, dia juga mengungkapkan ingin menjadi perancang busana. Meski desanya baru diguncang gempa yang dahsyat, tetap semangat menggapai cita-cita untuk jadi perancang busana.
Cita-citanya ingin melanjutkan sekolah ke SMA sampai ke perguruan tinggi. Namun, Fainah enggan sekolah di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, hanya ingin sekolah di Kota Palu agar tidak meninggalkan jauh keluarganya.
"Cita-cita ingin jadi desainer pakaian (perancang busana), karena suka menggambar, saya suka saja menggambar," kata Fainah sambil memasukkan tomat ke kantung plastik untuk ditimbang.
Fainah mengangkat tomat yang sudah dibungkusnya terus disimpan di atas timbangan sebelum bertransaksi dengan pembeli di pasar yang baru aktif kembali. Kemudian dia kembali bercerita, rumahnya ada di Desa Baliase, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi.
Bersama keluarganya, Fainah tinggal di rumah panggung. Rumahnya miring-miring akibat gempa bumi mengguncang Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala. Mereka memilih tidur di depan rumah karena khawatir tiba-tiba roboh atau terjadi gempa susulan.
"Takut ada gempa susulan, saya tinggal di rumah panggung, rumahnya jadi miring karena gempa," ujar dia sambil menutup wajahnya dengan tangan, entah karena malu atau untuk menutupi matanya yang berkaca-kaca.
Sebelum gempa bumi, likuifaksi dan tsunami menerjang Palu, Sigi dan Donggala. Fainah kerap membantu ibunya berjualan di pasar yang terletak di Jalan Cempedak, Kota Palu. Setiap Sabtu sore menjajakan hasil bumi dari desanya ke Kota Palu. Hanya di hari libur Fainah dapat membantu ibunya berjualan di pasar.
Tiga hari terakhir ini Fainah membantu ibu menjual jeruk, tomat, cabai dan kacang panjang di Pasar Inpres Manonda. Dia mengatakan, sekarang belum berangkat ke sekolah, tidak tahu seperti apa nasibnya bangunan sekolah.
"Jadi sekarang bisa bantu ibu jualan di pasar, biasanya (sebelum gempa) hanya ikut bantu jualan di pasar pas libur saja (Sabtu sore sampai Ahad pagi), jam 05.00 sore sampai jam 07.00 pagi," ujarnya.
Setiap hari ibunya jualan di pasar, sementara ayahnya tetap tinggal di desa untuk mengurus kebun buncis dan tomat. Sebelum mengakhiri ceritanya, Fainah mengungkapkan ingin sekolah sampai perguruan tinggi, tapi sekarang masih takut gempa bumi.