Rabu 10 Oct 2018 15:45 WIB

Yang Dibutuhkan Anak-Anak Korban Gempa-Tsunami Sulteng

Pemilihan trauma pascabencana dinilai penting bagi anak-anak.

Anak-anak saat bermain di Posko pengungsian Lapangan Masjid Agung Darussalam , Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (5/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Anak-anak saat bermain di Posko pengungsian Lapangan Masjid Agung Darussalam , Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (5/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Laporan Wartawan Republika, Fuji E Permana dari Sigi.

Sebanyak 781 orang dari Desa Jono Oge dan Lolu mengungsi di lapangan yang berada di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi. Jogo One, menurut Badan Penanggulan Bencana Nasional (BNPB), adalah salah satu wilayah terparah terdampak bencana gempa-tsunami.

Para pengungsi saat ini sangat membutuhkan makanan balita. Salah satunya disampaikan oleh warga Desa Lolu, Siti Fajar (28 tahun).

"Tapi susu untuk balita kurang, saya punya anak empat, paling kecil berusia tujuh bulan dan kakaknya berusia lima tahun," kata Siti saat ditemui Republika di tenda pengungsian sambil memeluk anaknya yang masih berusia tujuh bulan, Selasa (9/10).

Dia juga menyampaikan, kondisi rumahnya sudah hancur pascagempa bumi. Tanah di sekitar rumahnya menjadi bergelombang padahal awalnya rata. Sehingga tidak mungkin membangun rumah baru di sana.

Siti berharap pemerintah tetap memperhatikan para pengungsi selama tinggal di pengungsian. Juga berharap segera ada yang membantu memberikan tempat tinggal yang layak. Meski dia mengaku menerima kondisi di pengungsian, tapi tetap memikirkan kebutuhan anak-anaknya yang masih kecil.

"Kami mengharap (diberi bantuan) rumah, sebab rumah sudah hancur, mau ke mana lagi kita kalau tidak punya rumah," ujarnya.

Siti dan suaminya bersama empat anaknya yang masih kecil mengungsi pada Sabtu (29/8), mereka menahan lapar sejak gempa bumi mengguncang desanya pada Jumat (28/9). Beruntung pada Sabtu malam bantuan makanan sampai ke tenda mereka.

Mereka pada awalnya membuat tenda dari terpal bekas yang sobek-sobek, terpal tersebut di dapat dari Pasar Lolu. Sekitar tiga hari yang lalu, mereka baru mendapat bantuan berupa terpal baru. Siti dapat memaklumi saat siang kepanasan dan saat hujan kedinginan. Namun, dia memikirkan kebutuhan anaknya oleh karena itu mengharapkan segera mendapat tempat tinggal yang layak.

Pada Ahad (7/10), Republika berkesempatan menemui anak-anak yang berkumpul di pos kesehatan yang baru saja didirikan Dompet Dhuafa di Lapangan Bumi Jaya, Desa Lolu, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Mereka batuk-batuk dan tampak lesu akibat sepekan lebih menginap di tenda pengungsian dan hanya memakan mi rebus.

Fadil Ifat (11 tahun), sudah sepekan lebih tinggal di tenda pengungsian. Saat gempa bumi berkekuatan 7,4 skala richter mengguncang desanya, Fadil sedang main di rumah temannya. Seketika orang-orang di desa berhamburan ke luar rumah.

Fadil langsung lari ke pematang sawah sambil terpontang-panting dan jatuh beberapa kali. Saat itu ayahnya berada Kota Palu, sedangkan ibunya sedang berada di Kelurahan Petobo, Kota Palu. Bersama warga Fadil menuju Kampung Buntina, Desa Pombewe, Kecamatan Biromaru untuk tinggal di tenda pengungsian milik warga.

Gempa bumi berkekuatan 7,4 skala richter mengguncang Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala pada Jumat (28/9) sore. Pada Sabtu, Fadil dapat bertemu ibunya. Kemudian hari selanjutnya bertemu ayahnya. Mereka semua selamat, kini mereka dapat berkumpul di tenda pengungsian.

Farel Hidayat (9 tahun), warga Kampung Buntina, Desa Pombewe mengatakan, saat gempa bumi mengguncang desanya, dia sedang buang air besar di toilet. Entah bagaimana caranya, dia mengaku sempat mencuci duburnya setelah buang air besar saat terjadi gempa bumi.

Kemudian dengan cepatnya memakai celana sambil lari ke halaman rumah. Di halaman rumah dia bertemu ayah dan ibunya.

Anak-anak yang sedang diperiksa kesehatannya di pos kesehatan tidak hanya Fadil dan Farel. Ada juga Permana Valentino Febriansyah yang masih berusia 8 tahun.

Saat terjadi gempa bumi, Valentino sedang mengaji di rumah seorang ustaz di desanya. Ketika gempa mulai terasa mengguncang, dia lari ke luar menuju rumah saudaranya di Desa Jono Oge. Dia tidak lari ke rumah ayahnya karena rumah orang ayahnya ada di Desa Lolu. Sementara, ibunya sudah meninggal dunia sebelum gempa terjadi.

Valentino sudah tinggal di tenda pengungsian selama sepekan lebih. Setiap hari makan mi rebus karena belum ada nasi. Selama sepekan tidur di tenda, Valentino mengaku cukup bisa tidur dengan nyenyak karena menggunakan selimut.

Koordinator Lapangan Pos Kesehatan Dompet Dhuafa di Desa Lolu, Muhammad Syahrimal Ishak membenarkan, pengungsi di pengungsian warga Desa Lolu dan Jono Oge membutuhkan makanan balita. Selain itu pengungsi juga membutuhkan pakaian dalam wanita, tempat untuk mandi, toilet, mushola dan air bersih untuk minum serta masak.

Berdasarkan catatan Pos Kesehatan Dompet Dhuafa, di pengungsian warga Desa Lolu dan Jono Oge ada 781 pengungsi. Di antaranya ada 343 laki-laki, 272 wanita, 108 anak-anak, 58 balita, lima ibu hamil dan 27 orang lanjut usia. Dompet Dhuafa sudah memberikan layanan kesehatan kepada para pengungsi sejak Ahad (30/9), sementara pos kesehatan baru didirikan pada Sabtu (6/10).

"Kita memberikan pelayanan kesehatan seperti konsultasi kesehatan, pengobatan, memberikan perawatan luka dan pendampingan perilaku gaya hidup sehat di pengungsian," jelasnya.

photo
Sejumlah anak nampak bermain di sekitar tempat pengungsian Duyu, Palu Barat, kecamatan Tatanga, Selasa (9/10).

Baca juga:

Bantuan pemulihan psikologi

Di posko pengungsi yang berada di Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) Kota Palu, Sulawesi Tengah, terdapat pula 23 anak-anak korban bencana. Tim Psychological First Aid (PFA) Dompet Dhuafa menilai anak-anak korban bencana membutuhkan pendampingan agar tidak stres dan depresi.

Koordinator Tim PFA Dompet Dhuafa, Prapti Leguminosa mengatakan, baru saja menggelar kegiatan PFA di pengungsian, hari ini sasarannya anak-anak yang terdampak bencana alam. Ada dua anak yang tidak mau bersosialisasi dan bergabung dengan anak-anak lainnya pascagempa bumi, likuifaksi dan tsunami.

"Setelah tim Psychological First Aid Dompet Dhuafa memberikan aktivitas yang dibutuhkan anak-anak, anak yang tadinya tidak mau bersosialisasi jadi ikut bersosialisasi dengan anak-anak lain," kata Leguminosa kepada Republika di pengungsian, Rabu (10/10).

Ia menerangkan, sejauh ini anak yang tadinya enggan bersosialisasi menunjukan suatu kemajuan. Awalnya, anak tersebut hanya datang untuk melihat aktivitas anak-anak lain bersama tim PFA. Kemudian perlahan-lahan anak itu ikut bermain dengan anak-anak lainnya.

Ia menceritakan, kabarnya anak tersebut masih kaget karena bencana menerjang Kota Palu dan sekitarnya pada Jumat (28/9). Memang ada anak yang orang tuanya terbawa arus tsunami. Bagi anak-anak pengalaman tersebut menjadi luka yang mendalam.

"Wajar ketika ada anak-anak menarik diri, kesedihannya mendalam, katanya kabarnya anak itu gak mau menegur ayahnya karena dia merasa ayahnya tak bisa membawa ibunya kembali," ujarnya.

Leguminosa menjelaskan, anak-anak yang terdampak bencana merasakan emosi yang sangat luar biasa. Emosi yang menumpuk dan tidak tersalurkan akan membuat anak stres. Setelah stres bisa membuat anak-anak menjadi depresi, kalau sudah depresi akan buruk akibatnya.

Ia menegaskan, maka emosi anak-anak harus disalurkan secara perlahan-lahan dengan play therapy. Anak-anak menggambar, bermain, bernyanyi dan menari. Hal ini dapat mengurangi emosi yang terpendam dalam diri anak-anak.

"Memang caranya Psychological First Aid untuk anak-anak begitu, kalau untuk orang dewasa menggunakan cara-cara lain lagi," ujarnya.

Tim PFA menaruh perhatian terhadap psikososial masyarakat yang terdampak bencana. Tapi tim PFA juga memperhatikan sisi spiritual masyarakat. Menurut tim PFA, nilai-nilai religius bisa digunakan untuk pendampingan orang-orang dewasa yang menjadi korban bencana

Menurut ahli psikologi klinis, Muhammad Basir, pemulihan kondisi psikologi pascabencana sangat penting bagi anak-anak. Basir yang juga menjadi bagian dari Tim Pemulihan Trauma mengajak anak-anak yang kebanyakan berusia Sekolah Dasar bermain, membaca, menulis, menggambar, dan menceritakan kembali kejadian yang mereka alami saat gempa.

"Kami belum bisa memastikan sampai kapan kegiatan pemulihan mental korban gempa dilakukan, proses pemulihan ini cukup panjang, biasanya jangka waktu dua hingga tiga bulan," kata Basir dikutip Antara, usai mengajar anak-anak korban gempa di tenda pengungsian, Rabu (10/10).

Basir mengatakan, kegiatan pemulihan trauma pascabencana tidak hanya dijalankan di Petobo, daerah terparah terdampak likuifaksi. Posko-posko pemulihan trauma juga dibangun di posko pengungsian Kelurahan Layana, Balaroa, dan Vatulemo Palu.

Upaya pemulihan pun mencakup orang-orang dewasa maupun lanjut usia. Kepada mereka, tim antara lain memberikan ruang untuk menceritakan kembali apa yang telah dilalui saat bencana terjadi.

"Mengobati rasa takut korban bencana seperti saat ini ada tahapannya, menghadapi anak-anak, orang dewasa dan lansia punya cara masing-masing," kata Basri, yang bekerja dengan dukungan Forum Anak Sulteng.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement