REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kesetiakawanan sosial kini terasa kian rapuh. Terlebih dengan masuknya faham transnasional yang melemahkan nilai Pancasila.
Padahal, Pancasila menjiwai berjalannya kebijakan program kesembilan Nawacita memperteguh kebinekaan dan restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang dialog antar warga. Karena itulah perlu dilakukan restorasi sosial.
Hal itu disampaikan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutan pembukaan Sarasehan Gerakan Bangga Penggunaan Aksara Jawa (Gerbangpraja) dengan sub tema 'Nggugah Rasa Sithik Edhing Lumantar Aksara', di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, Selasa (9/10).
Menurut Sultan, generasi muda terkesan semakin ‘enggan’ menunjukkan identitas sosialnya. “Barangkali inilah salah satu dari keprihatinan sosial kita,” ujarnya.
Ia mengatakan sesungguhnya bahasa lebih dari sekadar alat komunikasi tetapi menggambarkan kemanusiaan kita nilai keyakinan dan identitas yang tertanam dalam bahasa. Melalui bahasa, manusia mentransmisikan pengalaman tradisi dan pengetahuan.
Secara global menurut Unesco, 40 persen penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap pendidikan bahasa yang mereka ucapkan. "Kenyataan itu mendorong Unesco meningkatkan pendidikan multi bahasa berbasis bahasa ibu di sekolah pemula untuk terus dilakukan," jelas Sultan.
Di samping itu, lanjutnya, masyarakat dapat mentransmisikan serta melestarikan aksara dan bahasa lokal secara berkelanjutan kepada generasi muda. Sultan menekankan bahwa para peneliti menemukan multi lingualisme ternyata kondusif untuk keberlanjutan pembangunan dan ekonomi.
"Negara-negara yang aktif memelihara berbagai bahasa dapat menuai berbagai hal positif, mulai ekspor sukses hingga angkatan kerja yang lebih inovatif,” kata Sultan.
Kepala Dinas Sosial DIY Untung Sukaryadi menuturkan, dilaksanakannya program gerakan sosial ini untuk membangkitkan kembali yang selama ini tertidur atau ditinggalkan yakni pemahaman dan penggunakan aksara Jawa.
Alasannya, pertama, semangat keistimewaan Yogyakarta agar bisa dirasakan oleh semua pihak dalam aspek membangkitkan kembali kebanggaan milik daerah. Kedua, aksara membangun perdamaian dan karakter bangsa.
Ketiga, aksara merupakan identitas sosiokultural suatu bangsa, dan keempat, aksara merupakan simbol perekat dan pemerkuat nasionalisme, contohnya Jepang, Korea, serta Cina.
"Jadi kami ingin membangunkan masyarakat agar sadar bahwa aksara itu tidak hanya penggalan dari suku kata, melainkan merupakan identitas jati diri, orang bangga terbangun karakter nasonalismenya. Untuk itu diharapkan perlu gerakan masif menanamkan generasi muda agar bangga menggunakan Aksara Jawa yang disebut program Gerbangpraja," tegasnya.