REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Fuji E Permana dari Sigi.
SIGI -- Sebuah Dusun di Desa Sibalaya Selatan, Kecamatan Tanambulava, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah tenggelam oleh lumpur yang diakibatkan gempa bumi dan likuifaksi pada Jumat (28/9). Warga setempat menyampaikan bahwa bantuan datang sepekan setelah bencana gempa bumi.
Warga Desa Sibalaya, Ratna Lapondeng menceritakan, terjadi gempa bumi pada Jumat (28/9) sekitar waktu magrib. Rumah-rumah di dusun roboh sementara sisanya tenggelam dalam lumpur. Setelah gempa bumi, bantuan tidak langsung datang ke Desa Sibalaya.
"Gempa bumi hari Jumat, jam 6 (sore) lewat pas shalat maghrib, bantuan datang setelah sepekan kejadian gempa, bantuan datang hari Jumat (5/10)," kata Ratna kepada Republika di rumah panggung milik ibunya yang sudah miring di Desa Sibalaya, Senin (8/10) sore.
Selama bantuan belum datang, Ratna bersama keluarganya yang terdampak bencana mengungsi ke rumah keluarganya di dusun lain. Hampir semua rumah di dusun tempat dia tinggal roboh dan tenggelam oleh lumpur. Hanya rumah panggung satu-satunya milik ibunya yang miring dan hampir roboh.
Tidak hanya rumah yang roboh dan tenggelam, pohon-pohon dan tiang listrik pun tumbang. Bahkan jalan menuju dusunnya amblas sehingga tidak bisa dilewati oleh kendaraan apapun. Meski ditempuh dengan berjalan kaki, jalannya cukup berbahaya karena jalannya belah dan retak. Lumpur yang menenggelamkan rumah pun mengering dan membuat kontur tanahnya menjadi retak-retak.
Ratna menyampaikan, ada sekitar lima rumah yang roboh akibat gempa bumi di dusunnya. Sementara puluhan rumah lainnya hanyut terbawa lumpur akibat likuifaksi. Di rumah yang terdampak likuifaksi ada sekitar 68 keluarga. Saat terjadi gempa bumi dan likuifaksi, tiga orang warga dusun meninggal dunia.
"Ada 68 keluarga di sini (yang terdampak gempa bumi dan likuifaksi), tiga warga meninggal, perempuan semua yang meninggal dua orang sudah tua," ujarnya.
Setelah sepekan pascakejadian, Ratna mengatakan, korban bencana baru mendapat beras, minyak goreng dan mi instan. Layanan kesehatan di pos pengungsian pun baru ada sepekan setelah gempa bumi.
Ratna bersama ibunya, Nuriya Lapondeng (84) berharap pemerintah memperhatikan mereka bersama korban-korban bencana lainnya. Mereka ingin pemerintah merelokasi rumah mereka di tempat yang layak dan lebih aman.
Nuriya menyampaikan, sebelum terjadi gempa bumi disertai likuifaksi, setelah Sholat Asar warga setempat biasa menggelar pengajian di rumahnya setiap Jumat. Saat itu gempa-gempa kecil beberapa kali mengguncang desanya. Di waktu magrib terjadi gempa besar yang merobohkan rumah disertai likuifaksi yang menenggelamkan rumah milik 68 keluarga.
"Sejak kecil lahir di sini, tinggal di sini, sekarang sudah berusia 84 tahun, baru kali ini terjadi seperti ini, beberapa tahun sebelumnya pernah gempa dan banjir bandang tapi dusun kami tidak apa-apa," jelasnya.