Senin 08 Oct 2018 15:13 WIB

Secercah Asa di Balik Pilu Petobo

Warga berusaha bangkit di tengah keterpurukan.

Tim SAR gabungan melakukan proses evakuasi korban di Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Ahad (7/10).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Tim SAR gabungan melakukan proses evakuasi korban di Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Ahad (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID, PETOBO -- Ulfa (53 tahun) ingat pesan orang tuanya saat menghadapi gempa, "Larilah sekencang mungkin ke luar rumah." Namun, saat rangkaian gempa mengguncang Petobo, Jumat (28/9) petang, jangankan berlari, berjalan untuk menjauh dari warungnya pun ia tak mampu.

Alhasil, ia hanya mampu merangkak untuk menghindar dari kemungkinan tertimpa atap-atap seng bangunan warungnya. Sesampainya di tepian Jalan Dewi Sartika, Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Provinsi Sulawesi Tengah, Ulfa menyaksikan sendiri tanah tidak hanya bergetar, tetapi bergeser hingga untuk berdiri pun terasa sangat sulit untuk sepersekian menit.

"Kejadian saat itu maghrib, saya lihat jalan terlipat (seperti terlipat), suara gemuruh keras sekali," kata dia.

Karena ketakutan, ibu pemilik warung makan di depan SMP Negeri 6 Kota Palu itu memilih hanya duduk sembari berdoa agar Tuhan memberinya kesempatan kedua untuk bertemu dengan dua putrinya dan melanjutkan hidup sebagai pribadi lebih baik.

Tuhan pun diyakini menjawab doanya. Guncangan berhenti, ia dan dua putrinya selamat. Meski demikian, Ulfa masih cemas karena tak lama air bercampur lumpur tampak turun merendam jalan dan warungnya.

"Air merendam karung beras di warung, basah semua. Tidak lagi saya pikir itu, saya langsung ke luar dan lari ke masjid. Di sana sudah beberapa orang berkumpul, mereka shalat jamaah," kata Ulfa saat ditemui di warungnya, tepat sepekan setelah bencana terjadi.

Sesaat setelah bencana terjadi, suasana berubah hening setelah sebelumnya jalanan ramai dengan suara gemuruh dan teriakan minta tolong. Ulfa melihat warungnya sudah terendam air keruh, bangunan sekolah di depan warungnya retak, dan jalanan bergelombang, kemudian lumpur terlihat naik ke atas permukaan tanah.

Tidak banyak yang ia lakukan malam itu. Ia kembali ke rumah memastikan keluarganya selamat. Hari berikutnya, Sabtu (1/10), Ulfa dan keluarganya mesti bertahan hidup tanpa pasokan listrik dan air bersih.

"Kami mencoba bertahan, memanfaatkan apa yang ada di rumah dan di warung. Air di warung tidak lama surut. Banyak barang berserakan, makanan, minuman kemasan, sampai bensin. Tidak saya peduli, yang penting (keluarga) selamat," ujarnya.

Ia bercerita tentang banyak tetangganya yang selamat di Petobo meminta izin mengambil barangnya yang berserakan itu. "Saya kasih semua, ambil (menunjukkan gestur tengah memberi barang--Red.) ini sudah, ambil saja, kasih makan anakmu," sebut Ulfa mencontohkan ucapannya ke tetangganya saat itu.

Saat itu, untuk warga Petobo yang selamat, kemurahan hati Ulfa dan kehadiran warungnya menjadi berkah tersendiri, membantu para penyintas untuk bertahan hidup.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement