Senin 08 Oct 2018 14:20 WIB

Habis OK-OTrip Terbitlah Jak-Lingko

Penetapan nama Jak-Lingko tepat sepekan setelah Anies mengakhiri uji coba OK-OTrip.

Rep: Farah Noersativa, Sri Handayani/ Red: Andri Saubani
Penumpang menaiki Angkotan Kota (Angkot) yang menggunakan kartu OK Otrip di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Jumat (19/1).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Penumpang menaiki Angkotan Kota (Angkot) yang menggunakan kartu OK Otrip di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Jumat (19/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengganti nama program transportasi satu harga untuk satu kali perjalanan di DKI Jakarta, OK-OTrip. Menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, nama itu diganti menjadi Jak-Lingko.

“Kita membenahkan istilah untuk sistem yang terintegrasi ini yaitu (menjadi) Jak-Lingko. Mengapa kita menggunakan istilah Jak-Lingko? Kita ingin agar memiliki nama yang begitu mendengar namanya langsung tercermin maknanya,” jelas Anies dalam pidatonya di Balai Agung, Balai Kota DKI Jakarta, Senin (8/10).

Penetapan nama Jak-Lingko tepat sepekan setelah Anies mengakhiri uji coba OK-OTrip yang telah berjalan selama sembilan bulan terakhir. Selama sembilan bulan, terdapat sebanyak 483 armada yang melayani 33 rute dan perhari. Semuanya telah melayani sekitar 68 ribu penumpang.

Program OK-OTrip telah melalui beberapa kali masa uji coba pada tahun ini. Uji coba pertama diberlakukan 15 Januari hingga 15 April. Karena belum berhasil, kemudian dilakukan perpanjangan uji coba hingga 15 Juli.

Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sandiaga Uno, menilai, ketidakberhasilan uji coba OK-OTrip dikarenakan adanya kendala, yakni perbedaan persepsi antara PT Transjakarta dengan operator angkutan umum. Kedua, pihak belum menyepakati besaran tarif rupiah per kilometer dan jarak tempuh angkot per hari.

Soal nama atau merek baru, Jak-Lingko, Anies menjelaskan, itu merupakan sebuah kosa kata baru dalam Bahasa Indonesia yang telah disepakati oleh Badan Bahasa. Dia menyebut, kata itu akan dipublikasikan pada akhir bulan Oktober ini bersama dengan ratusan kosa kata baru lainnya.

Kosa kata Jak-Lingko sendiri, kata dia, diambil dari jenis pengelolaan pengairan sawah di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Sistem pengairan itu merupakan sistem seperti jejaring laba-laba.

“Maknanya, Jakarta, dalam bahasa Inggrisnya link tersambungkan di dalam bahasa Indonesianya lingko yang artinya juga tersambungkan,” jelas Anies.

Dia menjelaskan, program Jak-Lingko ini tak berbeda dengan program OK-OTrip yang sebelumnya telah dilakukan uji coba. Hanya saja, ketika uji coba selesai, nama OK-OTrip dilakukan re-branding dengan nama Jak-Lingko.

Hal itu termasuk dengan penggunaan fasilitas kartu OK-OTrip yang saat ini telah digunakan oleh masyarakat pengguna transportasi integrasi, Menurutnya, semua fasilitas yang sudah ada, masih akan berjalan seperti biasa walaupun ada perubahan nama program.

Anies juga merencanakan akan membuka sayembara kepada masyarakat dalam pembuatan logo Jak-Lingko. Dia menargetkan, pada akhir Oktober ini, sayembara logo Jak-Lingko bisa selesai, dan diperkenalkan kepada masyarakat.

Dengan adanya penamaan baru ini, ia berharap masyarakat DKI Jakarta bisa tefasilitasi dengan baik dengan transportasi yang disediakan oleh pihaknya. Oleh sebab itu, pihaknya berencana untuk segera menambah angkutan bus kecil untuk menjadi salah satu moda transportasi yang terintegrasi di DKI Jakarta.

“Ini adalah bagian dari awal, karena nanti kita akan mengintegrasikan, bukan saja bus mikro dengan sistem bus besar, tapi juga nanti kita sambungkan dengan MRT, dengan LRT, yang sekarang kan belum pada jalan tuh. Tapi nanti kalau sudah jadi, mereka akan dalam satu payung. Payungnya adalah, Jak-Lingko tadi. Jakarta yang ter-link-kan. Terintegrasi,” jelas Anies.

Dia tak menutup kemungkinan juga akan menggandeng pengelola kereta Commuter Line untuk juga bergabung dengan Jak-Lingko. Sehingga, semua tranportasi di DKI Jakarta nanti pun juga akan terintegrasi.

Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta, Sigit Widjatmoko menjelaskan, ada sebanyak tiga pihak yang sepakat untuk membangun sistem Standar Pelayanan Minimum (SPN). Tiga pihak itu antara lain Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta, Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, dan Trans Jakarta.

“Kalau kita bicara tadi Gubernur sudah menyampaikan berubah, jadi mereka yang tidak diatur menjadi ke sistem SPN. Ini jadi pegangan,” jelas dia.

Mengenai rencana ke depan, dia menjelaskan akan ada evaluasi terlebih dahulu mengenai uji coba OK-OTrip sebelumnya. Evaluasi itu termasuk kepastian pendapatan dalam waktu tempuh, dan juga berapa tarif rupiah per kilometer.

photo
Warga DKI Jakarta berjalan usai menggunakan sarana transportasi angkutan umum Ok Otrip di terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Selasa (2/10).

Polemik tarif dan jarak tempuh

Saat masih bernama Ok OTrip, ada dua masalah utama yang muncul yakni, soal tarif dan jarak tempuh program OK OTrip. Kepala Humas PT Transjakarta Wibowo pernah menyatakan, pada dasarnya OK OTrip merupakan program Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Oleh karena itu, penetapan tarif menjadi wewenang Dishubtrans.

Namun dalam suratnya, Dishubtrans hanya memberikan usulan tarif untuk OK OTrip. PT Transjakarta yang berniat ingin membantu program OK OTrip berjalan lancar lalu berkoordinasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai institusi yang dianggap memiliki kewenangan.

"Yang berhak menetapkan adalah Dishub. Kalau kami ini kan, kami tidak berhak menetapkan, makanya kami melibatkan LKPP gitu," kata Wibowo saat dihubungi Jumat (13/7).

Dalam penghitungan tarif yang dihasilkan LKPP tersebut sudah disertakan semua komponen terkait, misalnya gaji sesuai upah minimum provinsi (UMP), jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), bahan bakar, biaya perawatan, dan sebagainya. Pertimbangan lain yaitu pertumbuhan ekonomi dan penghasilan masyarakat.

Ketua Organda Angkutan Darat (Organda) Shafruhan Sinungan berpendapat polemik OK OTrip tak hanya berkaitan dengan penetapan tarif rupiah per kilometer dan jarak tempuh, tetapi juga pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM). Ia ingin dalam program tersebut ada komitmen bersama untuk melakukan perubahan dan memperbaiki fasilitas dan kualitas layanan secara bertahap.

Apalagi, dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Dalam Trayek disebutkan semua angkutan umum harus memenuhi standar SPM. Dalam Pasal 1 poin c disebutkan ada sembilan tambahan jenis SPM baru untuk angkutan perkotaan.

Dalam hal keselamatan, pintu keluar angkutan kota harus tertutup ketika berjalan, ban tidak boleh vulkanisir, dan beberapa aturan lainnya. Dari sisi kenyamanan, ada tambahan berupa larangan merokok dan kelengkapan AC dengan suhu di ruangan penumpang stabil antara 20-22 derajat celsius. Menurut Shafruhan, hingga sekarang standar itu belum terpenuhi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement