Senin 08 Oct 2018 08:18 WIB

Modus Korupsi Puluhan Kepala Daerah yang Kena OTT KPK

Biaya politik tinggi menjadi faktor pendorong kepala daerah korupsi.

Wali Kota Pasuruan Ditahan. Tersangka selaku Wali Kota Pasuruan Setiyono (tengah) dengan rompi tahanan meninggalkan gedung KPK usai diperiksa di Jakarta, Jumat (5/10).
Foto: Republika/ Wihdan
Wali Kota Pasuruan Ditahan. Tersangka selaku Wali Kota Pasuruan Setiyono (tengah) dengan rompi tahanan meninggalkan gedung KPK usai diperiksa di Jakarta, Jumat (5/10).

REPUBLIKA.CO.ID Sebanyak 34 kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) sejak 2012. Terakhir, KPK menetapkan Wali Kota Pasuruan Setiyono sebagai tersangka penerima suap terkait sejumlah proyek di lingkungan pemerintahannya, Jumat (5/10).

"Sejak 2012, KPK telah melakukan OTT terhadap 34 kepala daerah dengan beragam modus. Namun, semua kepala daerah ini ditangkap dalam kasus suap," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Ahad (7/10). 

Febri menyatakan, kebanyakan modus yang dipakai puluhan kepala daerah tersebut adalah uang sebagai fee proyek. Hanya beberapa yang yang menerima uang suap terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah, dan pengurusan anggaran otonomi khusus.

Menurut dia, praktik buruk korupsi dalam bentuk suap itu telah merusak tujuan proses demokrasi lokal, termasuk pilkada serentak yang diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat. 

"Negara dirugikan berkali-kali ketika praktik suap kepala daerah terus terjadi," kata Febri. 

Selain proses kontestasi politik dengan biaya penyelenggaraan yang mahal, kata dia, praktik suap memicu persaingan tidak sehat antarpelaku usaha di daerah. Ia menyatakan, satu perusahaan mendapatkan proyek bukan karena kompetensinya dalam mengerjakan proyek, tetapi lebih karena kemampuan perusahaan tersebut menyuap pejabat. 

"Suap dihitung sebagai biaya, sehingga berisiko mengurangi kualitas bangunan, jembatan, sekolah, peralatan kantor, rumah sakit, dan lain-lain yang dibeli. Pada akhirnya, yang menjadi korban adalah masyarakat," katanya.

Febri mengatakan, penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) secara struktural makin dirasa mendesak. Bukan hanya agar aparatur pengawas ini memahami bagaimana celah dan bentuk penyimpangan yang terjadi, tetapi juga revitalisasi posisi APIP yang selama ini nyaris tersandera dan tidak independen di bawah kepala daerah. 

"Karena itulah perbaikan regulasi seperti RUU Sistem Pengawasan Intern Pemerintah menjadi kebutuhan untuk mencegah korupsi kepala daerah yang terus terjadi," kata Febri.

Selain itu, jika dilihat dari proses awal sebelum kepala daerah menjabat maka biaya politik yang tinggi dapat diidentifikasi sebagai salah satu faktor pendorong korupsi kepala daerah. Dalam OTT para kepala daerah ini, kata dia, ada beberapa pelaku yang mengumpulkan uang untuk tujuan pencalonan kembali. 

"Dan pengumpulan mantan tim sukses untuk mengelola proyek di daerah tersebut," kata dia.

Febri mengungkapkan, akuntabilitas sumbangan dana kampanye menjadi salah satu faktor krusial yang perlu diperhatikan. Karena hubungan pelaku ekonomi dan politik yang tertutup rentan memicu persekongkolan dan penyalahgunaan wewenang saat kepala daerah menjabat. 

"Utang dana kampanye tersebut berisiko dibayar melalui alokasi proyek-proyek di daerah," katanya.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement