Senin 08 Oct 2018 06:23 WIB

Perang Dagang AS-Cina dan Pilpres

Indonesia berada di tengah pusaran besar perang dagang AS-Cina.

Adiwarman Karim
Foto: Republika/Da'an Yahya
Adiwarman Karim

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Adiwarman A Karim

Rapat the Fed, bank sentral Amerika Serikat, pada 31 Juli-1 Agustus yang lalu, menarik disimak untuk memahami apakah kegaduhan perang dagang AS-Cina akan mengarah ke perang dagang skala penuh atau sekadar keperluan elektabilitas Partai Republik pada midterm election yang akan berakhir pada 6 November.

Notulen rapat the Fed menunjukkan kegaduhan perang dagang akan menimbulkan sentimen bisnis yang negatif, penurunan investasi, peningkatan pengangguran, dan akhirnya menurunkan daya beli konsumen. Sektor yang akan paling merasakan dampak balasan tarif oleh Cina adalah sektor pertanian.

Negara bagian yang akan paling merasakan dampak pengetatan impor barang dari Cina adalah Mississippi yang 76,4 persen impornya berasal dari Cina. Dua negara bagian lain yang akan terdampak adalah Virginia (44 persen) dan Illinois (36 persen), keduanya saat ini dikuasai oleh Partai Demokrat.

Negara bagian yang akan paling merasakan dampak pengetatan ekspor ke Cina akibat balasan tarif adalah Alaska yang 26,8 persen ekspornya ke Cina. Tiga negara bagian lain, yang saat ini juga dikuasai Partai Republik, adalah South Carolina (19,4 persen), Alabama (16,4 persen), dan Louisiana (13,6 persen). 

Empat negara bagian yang saat ini dikuasai Partai Demokrat juga akan terdampak, yaitu New Mexico (27,8 persen), Washington (23,5 persen), Oregon (18 persen), dan Hawaii (13,1 persen).

Sebagian besar negara bagian tidak akan merasakan dampak signifikan dari perang dagang AS-Cina. Selain yang telah disebut, dari sisi ekspor ada 27 negara bagian yang porsi ekspor ke Cina hanya 5-10 persen, 14 negara bagian berkisar 1-5 persen, dan satu negara bagian, yaitu Washington DC di bawah 1 persen.

Dari sisi impor, lima negara bagian memiliki porsi impor dari Cina berkisar 10-22 persen, 17 negara bagian 5-10 persen, 22 negara bagian hanya 1-5 persen, bahkan dua negara bagian, yaitu Idaho dan Kentucky, di bawah 1 persen.

Dari analisis ini, tampaknya kegaduhan perang dagang AS-Cina lebih merupakan panggung depan untuk menunjukkan kedigdayaan AS di mata rakyatnya, tanpa risiko yang berlebihan terhadap perekonomian AS. Popularitas dan elektabilitas dapat diperoleh tanpa pengorbanan signifikan perekonomian AS. Dengan demikian, dapat diduga, kegaduhan perang dagang ini akan mereda setelah midterm election di AS.

Kedigdayaan ekonomi AS yang dapat dicitrakan sebagai kemenangan dalam perang dagang AS-Cina sebenarnya lebih disebabkan oleh kebijakan the Fed menghentikan pelonggaran moneter yang sejak 2015 secara bertahap menaikkan tingkat suku bunganya.

Kebijakan ini berhasil menarik kembali dana-dana AS yang berada di luar negeri, sedemikian rupa menguatkan perekonomian AS, sehingga the Fed mulai khawatir bila penguatan ekonomi ini terus berlangsung dapat melewati batas tertinggi inflasi AS sebesar 2 persen.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement