Sabtu 06 Oct 2018 06:43 WIB

'Itu Kapal Terangkat, Lalu Terhempas ke Rumah-Rumah'

Warga bersaksi melihat gelombang tsunami datang tiga kali bertubi-tubi.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah warga berada didekat kapal yang terdampar di Pelabuhan Wani, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah warga berada didekat kapal yang terdampar di Pelabuhan Wani, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Air laut di Pelabuhan Wani, Tanantovea, Kabupaten Donggala, Jumat (28/9) sore pekan lalu tidak ada yang berbeda dengan hari biasanya. Namun siapa sangka, tidak sampai hitungan jam, air laut di Teluk Palu tersebut menumpahkan isi-isinya ke daratan pesisir sekitarnya.

Tak hanya tumpah ruah, gelombang air tsunami dengan kecepatan tinggi itu pun meluluhlantakkan bangunan yang dilaluinya. Donu (57) warga pesisir di Pelabuhan Wani menuturkan saat gempa terjadi disertai tsunami datang sepekan lalu.

Baca Juga

Masih teringat jelas di benaknya ketika gelombang tsunami menyapu rumah dan perkampungannya tidak berselang lama dengan gempa yang membuat tanah Palu dan sekitarnya bergetar.

Seperti pengalaman gempa dan tsunami Aceh, ada rentang waktu antara gempa dan tsunami. "Tapi ini tidak, tidak lama, setelah gempa itu bergoyang, itu air naik cepat," kata Donu.

Donu menceritakan saat itu dirinya di pesisir persis Pelabuhan Wani, saat gelombang yang menurutnya tinggi lebih dari pohon kelapa menghantam pesisir Pelabuhan Wani. "Itu ada tiga gelombang itu, tinggi tinggi sekali, bentuknya gini (sambil mencontohkan ular kobra dengan tangannya), seperti mau makan kampung ini, berlapis-lapis itu gelombangnya," ujar Donu.

Ia pun berbalik menjauh arah gelombang dan berteriak agar orang-orang berlari ke daratan lebih tinggi. "Saya berbalik ke rumah, saya teriak lari-lari, itu air langsung hantam kantor pelabuhan," ujar Donu.

Ia juga menyaksikan langsung bagaimana dahsyatnya gelombang tsunami menyeret Kapal Motor Sabuk Nusantara 39 yang tengah bersandar di pelabuhan tersebut dan juga tiga kapal lainnya hingga ke daratan. "Itu kapal terangkat, lalu terhempas ke rumah-rumah," ujarnya.

Namun ia bersyukur ia berhasil lari dan menyelamatkan diri di atap rumahnya. Donu juga menyebut air laut yang tumpah ruah tersebut tidak langsung surut, namun berangsur-angsur. Gelombang tsunami menyisakan puing-puing bangunan yang sudah tidak beraturan.

"Oh tidak, pelan-pelan, air surut, lalu porak poranda, itu semua, ada juga yang meninggal di sini," kata Donu.

Sama halnya dengan Darwis, pelaksana tugas Desa Wani II yang juga melihat dengan matanya sendiri dari atap rumahnya, KM Sabuk Nusantara 39 terseret gelombang tsunami sepanjang 15 meter. "Posisi kapal itu satu garis dengan pelabuhan, tapi demikian besar gelombangnya, itu posisinya berlawanan, andai kata itu tidak ada gerbang pelabuhan, sudah masuk itu kapal ke perkampungan, itu sepotong badan kapal sudah jalan desa, mengerikan sekali," ujar Darwis.

Darwis mengungkap, suara gemuruh juga menyertai gelombang tsunami itu datang. Menurutnya, suara warga yang berteriak menyelamatkan diri sampai tidak terdengar.

Banyak masyarakat yang saat itu hendak menjalankan shalat magrib pun kemudian berlari menyelamatkan diri. "Orang-orang berlarian, sama-sama menyelamatkan diri, itu sudah tidak beraturan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement