Jumat 05 Oct 2018 20:38 WIB

Jumlah Korban Likuifaksi yang Masih Menjadi Misteri

Ahli geologi AS menyebut fenomena likuifaksi di Sulteng menyeramkan.

Rep: Bayu Adji P, Antara, Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Warga melihat mobil yang tertimbun lumpur akibat pencairan (likuifaksi) tanah yang terjadi di Desa Jono Oge, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Warga melihat mobil yang tertimbun lumpur akibat pencairan (likuifaksi) tanah yang terjadi di Desa Jono Oge, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Likuifaksi atau pencairan tanah menjadi fenomena tersendiri yang menandai dahsyatnya dampak bencana gempa-tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng). Ahli geologi Universitas Saint Louis AS, John Encarnacion, pun menyebut fenomena likuifaksi di Sulteng menyeramkan.

BACA JUGA:

Baca Juga

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memetakan sedikitnya enam daerah terdampak likuifaksi dan tanah ambles akibat gempa bumi di Sulteng. Tanah ambles terjadi di Perumnas Balaroa, Kota Palu. Sedangkan likuifaksi terjadi di Perumnas Petobo, Kota Palu, serta wilayah Mpano, Sidera, Jono Oge, dan Lolu, di Kabupaten Sigi.

Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, hingga saat ini jumlah korban terdampak tanah ambles dan likuifaksi belum diketahui secara pasti. Menurut dia, berdasarkan laporan dua kepala desa di Perumnas Petobo dan Perumnas Balaroa, jumlah korban mencapai ribuan orang.

"Jumlah penduduk, kita belum dapat identifikasi. Tapi berdasarkan laporan kepala desa di Balaroa dan Petobo, diperkirakan lebih dari 1.000," kata dia saat konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta Timur, Kamis (4/10).

Berdasarkan citra satelit dari LAPAN, kata Sutopo, sekitar 202 hektare wilayah Jono Oge, Kabupaten Sigi, terdampak likuifaksi. Ia memperkirakan, sekitar 366 unit rumah rusak.

Menurut dia, kondisi di lapangan, rumah warga sudah tak bisa dikenali. Pasalnya, rumah telah tenggelam oleh lumpur di kedalaman sekira 3 meter.

"Pertama tanah terbuka, keluar lumpur dengan air sudah. Langsung begulung dia, berputar-putar, pokoknya kita dibawa sampai ke Kampung Bow," tutur Syaiful, warga Desa Jono Oge yang berhasil menyelamatkan diri dari luapan lumpur yang menyertai guncangan gempa.

Kampung Bow, yang juga disebut Dusun Tiga, merupakan bagian dari Desa Langaleso, yang bersebelahan dengan Desa Jono Oge. "Saya rasa tidak lama, saya pikir tidak pindah dari rumah. Ternyata sudah jauh di sana, hanyut dua kilometer," tutur Syaiful.

Dari tanah yang terbelah, menyembur lumpur, yang menggulung dan menghanyutkan satu desa dalam proses likuifaksi di mana tanah berubah menjadi lumpur karena sendimen yang kaya air terguncang hebat akibat gempa. Terpaan lumpur menghanyutkan semua yang semula berada di Desa Jono Oge ke arah barat hingga kandas di Desa Langaleso, tepatnya di Dusun Tiga.

Sementara di wilayah Petobo, luas area yang terdampak adalah 180 hektare dan mengakubatkan 2.050 unit bangunan rusak. Sedangkan dampak likuifaksi di wilayah Lolu, Sidera, dan Mpane belum diketahui.

Fenomena tanah ambles juga terjadi di sekitar 47,8 hektare wilayah Balaroa. Ia mengatakan, sebagian tanah ambles sedalam 3 meter, sementara sebagian lainnya terangkat setinggi 2 meter. Ia memperkirakan sedikitnya ada 1.045 unit bangunan rusak.

In Picture: Dampak Likuifaksi Tanah Pascagempa di Desa Jono Oge Sigi

[video] Gempa Palu, Warga Petobo: Lumpur Berputar Keluar dari Tanah

Sutopo melanjutkan, proses evakuasi terus dilakukan, baik di wilayah yang mengalami tanah ambles maupun likuifaksi. Di Petobo dan Balaroa, kata dia sudah dikerahkan masing-masing tujuh dan lima unit alat berat.

"Medan cukup sulit karena bangunannya terseret oleh lumpur likuifaksi kemudian ditenggelamkan. Beberapa lokasi kondisi tanahnya juga masih basah bercampur lumpur," kata dia.

Sutopo menegaskan, kejadian tanah ambles dan likuifaksi harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Karena itu, lokasi rehabilitasi dan rekonstruksi ke depan hadus disesuaikan dengan rekomendasi Badan Geologi.

Menurut dia, fenomena likuifaksi dengan skala besar baru kali ini tercatat. Ia mengakui, likuifaksi memang pernah juga terjadi ketika gempa Yogjakarta (2006), Padang (2009), dan Lombok (2018), tapi tidak seluas yang terjadi di Palu.

"Akan ada proses pemetaan untuk direkomendasikan pada rehabilitasi dan rekonstruksi, termasuk menata kembali tata ruang," ucap dia.

Ia menyatakan, pemukiman di kawasan terdampak likuifaksi pascabencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng) akan direlokasi. Hal tersebut demi menjaga keamanan masyarakat ketika gempa bumi terjadi lagi.

“Daerah-daerah pemukiman dimana terjadi likuifaksi itu direkomendasikan untuk direlokasi. Jadi tidak dihuni,” kata Sutopo.

Baca juga:

Wakil Presiden Jusuf Kalla menjanjikan penyelesaian rekonstruksi bencana gempa dan tsunami di Palu-Sigi, dan Donggala akan tuntas dalam waktu dua tahun. Setelah tanggap darurat maksimal dua bulan selesai, Pemerintah akan melanjutkan proses rehabilitasi dan rekonstruksi.

"Kemudian kita harus membuat hunian sementara, kemudian setelah itu rehabilitasi rekontruksi rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang rusak dan ambruk betul," ujar Jusuf Kalla usai meninjau penanganan dampak gempa dan tsunami di Palu, Jumat (5/10).

Namun kata JK, sapaan akrabnya, konsep rehabilitasi dan rekonstruksi gempa di Palu-Donggala berbeda dengan konsep rekonstruksi seperti di Lombok. Sebab, gempa Palu-Donggala terjadi di wilayah perkotaan, berbeda dengan Lombok yang banyak di wilayah pedesaan.

"Kalau lombok kan pedesaan ini di perkotaan beda. Di desa itu Lombok, luas lahannya bisa diatur macam-macam, kalau di sini kecil lahannya jadi karena itu mungkin saja (rekonstruksi) bikin kaya (kawasan) bertingkat gitu kan," ujar JK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement