Jumat 05 Oct 2018 08:35 WIB

Kisah Kampung Balaroa, Perumahan yang Hilang Ditelan Bumi

Balaroa menjadi tempat perumahan pertama di Kota Palu.

Red: Nur Aini
Anggota Basarnas bersama TNI dan relawan menggunakan alat berat melakukan pencarian jenazah korban gempa dan tsunami di Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Anggota Basarnas bersama TNI dan relawan menggunakan alat berat melakukan pencarian jenazah korban gempa dan tsunami di Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10).

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Kelurahan Balaroa di Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, memiliki sejarah bagi Ibu Kota Sulawesi Tengah sebagai daerah tempat beradanya perumahan pertama di kota ini. Dibangun pada dekade 1980-an, wilayah itu menjadi salah satu daerah yang cukup signifikan perkembangannya di Palu.

Namun, seperti peribahasa "malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih", seketika keadaan tersebut berubah saat Jumat (28/9) petang lalu gempa 7,4 magnitudo mengguncang Palu dan Donggala. Gempa besar yang berpusat di dekat Donggala, ibu kota Kabupaten Donggala, di perairan yang tepat berada di Teluk Palu, mengakibatkan pesisir barat Sulawesi Tengah termasuk Kota Palu dan Donggala dihantam gelombang tsunami setinggi dua hingga empat meter, delapan menit setelah gempa.

Meski tidak terdampak tsunami, hampir seluruh wilayah Kelurahan Balaroa, termasuk Perumnas Balaroa, terkubur oleh tanah yang mengalami likuifaksi atau ambles dan terkubur akibat gempa besar yang terjadi. Seketika itu juga, tak sedikit jiwa di wilayah tersebut turut terkubur oleh tanah bersama rumah dan harta benda mereka. Bagi mereka yang selamat, mereka harus rela kehilangan harta benda dengan menyisakan apa yang ada di badan, kehilangan anggota keluarga, teman, dan sahabat.

photo
Foto udara rumah-rumah warga yang hancur akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR) di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).

Salah satunya adalah bocah berusia empat tahun bernama Faiz yang kehilangan sahabat bermainnya, Aura, saat gempa tersebut mengguncang Palu.

Kepolosan yang penuh kesedihan tersirat dari raut muka Faiz. Ia terlihat sangat terguncang karena dirinya mengetahui teman bermainnya itu meninggal dunia akibat tertimpa tembok.

"Aura tertindih tembok besar dan kuat. Faiz nggak kuat. Kalau Faiz kuat, Faiz mau bantu," kata Faiz dengan terlihat raut muka kesedihannya.

Penyelamatan diri mencekam

Faiz sendiri yang saat kejadian gempa tersebut berada bersama orang tuanya Ikram dan Dian serta anggota keluarga lainnya, termasuk yang berhasil menyelamatkan diri walau harus kehilangan tempat tinggal dan keluarganya. Sang ibu, Dian (32 tahun), menceritakan saat gempa 7,4 magnitudo mengguncang dia bersama anggota keluarga lainnya, sedang berada di dalam rumah dan sontak langsung menyelamatkan diri masing-masing.

"Di rumah ada sekitar enam hingga delapan orang dan ada anak-anak kecil juga. Tapi, mama mertua saya tidak tertolong," tutur Dian.

Saat gempa melanda, Dian menceritakan, bumi bergoncang, tanah terbelah, pohon, masjid dan bangunan lainnya bergerak ke samping dan atas bawah seperti gelombang air hingga akhirnya tertutup oleh tanah.

"Saat pergi menyelamatkan diri, saya berlari di bawah, sudah atap rumah orang," katanya.

Dalam usaha penyelamatan dirinya tersebut, kata Dian, dia dan buah hatinya yang paling kecil tertimpa atap dan sempat terjebak di dalamnya. Beruntung, saat itu Faiz yang berlari di depan Dian, menyadari ibunya terjebak dan secara spontan berteriak hingga mengundang warga di sekitarnya yang turut menyelamatkan diri untuk membantu.

"Saat itu, Faiz berteriak mamanya tertinggal di bawah atap, akhirnya ada warga yang menolong adiknya dulu baru kemudian istri saya ditarik di antara sela-sela atap rumah," kata sang ayah, Ikram (32 tahun).

Akan tetapi, keadaan mencekam tidak hanya sampai di situ. Dalam usaha pelarian menyelamatkan diri di tengah kebingungan mencari arah, keluarga tersebut bersama warga lainnya selain harus menghindari bangunan roboh dan pergerakan tanah yang tak beraturan, mereka juga harus terus berlari ke tempat aman sambil menghindari api yang berkobar di kanan-kirinya.

"Di sekeliling kami api menyala-nyala, tanah juga tidak beraturan, kami lari terus, bahkan kami sampai terbawa oleh pergerakan tanah itu dari lapangan ke arah masjid hingga ke lorong Kamboja mungkin sejauh 300 meter," ucap Ikram.

Akhirnya, keluarga tersebut berhasil menyelamatkan diri walau harus kehilangan tempat tinggal dan sanak keluarganya. Mereka selamat dari keadaan mencekam yang hanya terjadi beberapa menit namun memiliki akibat luar biasa itu.

Selepas guncangan gempa dahsyat tersebut, beberapa saat kemudian pemerintah pusat menetapkan status Palu dan sekitarnya di Sulawesi Tengah, dalam keadaan darurat bencana. Hal itu disusul dengan pembentukan satgas gabungan dengan lingkup kerja seluruh wilayah Sulawesi Tengah termasuk Balaroa.

Di bawah tanah Balaroa sendiri, kini terkuburlah kenangan-kenangan perumahan tertua di Palu itu. Diperkirakan ratusan warga masyarakatnya yang masih menunggu untuk dievakuasi, walau sudah kecil kemungkinan adanya korban selamat ditemukan.

Sudah 1.558 orang dikabarkan meninggal dunia dan 113 orang dinyatakan hilang hingga hari keenam bencana. Namun mengingat begitu hebatnya bencana itu, angka tersebut kemungkinan besar akan semakin bertambah banyak. Hal itu karena masih banyaknya daerah yang belum tersentuh proses evakuasi dengan berbagai alasan seperti akses terputus, medan yang berat dan lokasi tertimbunya masyarakat yang terlalu dalam.

Kendati demikian, hal tersebut sangat dinantikan, terutama oleh keluarga dan sahabat korban. Hal yang tidak kalah pentingnya, adalah pemulihan trauma pasca-bencana gempa dan tsunami pada puluhan ribu korban terdampak, termasuk ribuan anak-anak dengan kenangan seperti Faiz di dalamnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement