REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memantau, terjadi peningkatan aktivitas seismik sejak kejadian gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Juli 2018. Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengatakan, peningkatan aktivitas itu khususnya terjadi di wilayah Indonesia bagian timur.
Meski begitu, belum ada penelitian lebih lanjut apakah gempa itu merupakan kejadian yang saling memicu atau bukan. Pasalnya, kata dia, hingga saat ini belum ada teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat meramal dengan akurat waku, tempat, dan kekuatan gempa yang akan terjadi.
"Kalau kita lihat kasus di Lombok, memang ada pola pemicuan. Jadi di utara Bali bagian tengah itu terjadi aktivitas pertama di mana segmen tengah pecah dan memicu bagian barat dan memicu bagian utara," kata dia saat konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta Timur, Kamis (4/10).
Ia menegaskan, konteks saling picu itu hanya bisa terjadi jika sumber gempa berada di segmen yang bersebelahan. Namun, jika sumber gempa berbeda, tak ada yang bisa memastikan hubungan antara gempa satu dan lainnya.
Karena itu, jika setelah gempa Lombok terjadi juga gempa di Sumba, Jawa Timur, dan Palu, Daryono menilai hanya sebuah kebetulan. Pasalnya, Indonesia memiliki banyak sumber gempa.
Ia menjelaskan, saat ini Indonesia memiliki enam zona subduksi yang dapat dibedakan menjadi 16 segmen. Dari situ, baru ada sekitar 295 sesar aktif yang dapat dikenali.
Menurut Daryono, tak ada teknologi yang dapat meramalkan kejadian gempa dari sumber-sumber gempa tersebut. Karena itu, hal ini harus dipahami masyarakat agar tidak terpicu oleh hoaks.
"Jadi kalau ada aktivitas gempa di lokasi A, B, C, entah itu bareng atau berdekatan, bukan berarti saling picu. Tapi memang sumber gempa itu memiliki medan akumulasi sendiri," kata dia.