Kamis 04 Oct 2018 01:43 WIB

Dewan Pers: Media Jangan Lupakan Peran Verifikator

Talking news saat ini marak digunakan oleh media.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Muhammad Hafil
Dewan Pers
Foto: repro matanews
Dewan Pers

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo, mengingatkan semua media untuk tidak melupakan peran mereka sebagai verifikator. Ia pun mengingatkan media agar berhati-hati dengan pembuatan berita ujaran atau talking news di masa kampanye pemilihan umum (pemilu) seperti saat ini.

"Tugas media itu menjadi verifikator. Jangan sampai kemudian apa yang beredar marak di media sosial, jadi perbincangan, meme, dan seterusnya kemudian diangkat saja," jelas Stanley kepada Republika.co.id melalui sambungan telepon, Rabu (3/10).

Tugas media, khususnya wartawan, adalah mengecek, memastikan, dan mengonfirmasi suatu isu kepada pihak-pihak yang berkompeten sebelum isu itu diangkat ke publik. Terbukti, kata Stanley, salah satu isu yang digulirkan oleh juru kampanye salah satu pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) diakuinya sebagai suatu kebohongan.

"Fatal itu karena bisa menyebabkan konflik horizontal kan. Menurut saya, tidak mungkin media tidak pernah salah, pasti pernah salah. Akui saja dan minta maaf kepada pemirsanya, pembacanya, kepada publik," tutur dia.

Kesan Stanley pada kasus yang terjadi beberapa hari ke belakang ini, media sudah salah dengan memberitakan kebohongan itu dan hanya memuat pengakuan salah sang pembuat kebohongan. Media, kata dia, tidak merasa bersalah karena telah memberitakan tanpa konfirmasi terlebih dahulu ke pihak-pihak yang berkompeten.

Seharusnya, kata dia, media mengakui saja kesalahannya dan meminta maaf kepada publik. Tapi, yang ia lihat, justru tidak demikian. Menurut Stanley, media saat ini seolah-olah mendapatkan konten baru untuk disiarkan. Ia mengambil contoh acara televisi, di mana terdapat diskusi tentang kejadian ini yang mengundang perwakilan dari dua kubu capres-cawapres.

"Itu memanaskan situasi. Sebaiknya, sudah diakhiri saja. Toh yang melakukan sudah meminta maaf. Itu nanti urusan hukum kalau itu memang mau diproses. Tapi urusan medianya, minta maaf saja kepada audiens," terangnya.

Stanley menilai, kejadian ini menunjukkan media tidak bekerja sebagai verifikator. Media tidak menjalankan fungsi sebagai "rumah pembersih". Media hanya menjalankan talking news, yang berarti apa yang dikatakan seseorang langsung diberitakan tanpa dilakukannya verifikasi.

Talking news, ungkap Stanley, saat ini marak digunakan oleh media. Padahal, dalam membuat jenis berita seperti itu perlu kehati-hatian di masa kampenye pemilu seperti saat ini. Apalagi, kecenderungan keterbelahan media sejak pemilu 2014 masih terasa hingga saat ini.

"Kita dorong, apalagi yang perusahaannya terverifikasi di Dewan Pers, ayolah, move on. Kita berubah, kita kawal bangsa ini untuk bisa mendapatkan pemimpin yang memang bernas, yang bisa mengantar bangsa ini," jelas Stanley.

Menurut Stanley, dalam menyongsong bonus demografi pada 2020 hingga 2030 mendatang, kejadian-kejadian seperti ini kontraprofuktif. Jangan sampai kemudian generasi muda Indonesia dicekoki dengan informasi-informasi serupa ini.

"Informasi-informasi seperti ini, perang kata-kata antara generasi tua mereka, sama sekali tidak bijak," ujar dia.

Karena itu, ia berpendapat, kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak, terutama media. Jangan sampai hal yang sama terjadi di kemudian hari. Ia pun meminta media tidak lagi saling berkubu dan mulai berpikir ke depan, ke arah yang lebih baik lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement