REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Fauziah Mursid
Gempa dan tsunami yang mengguncang Sulawesi Tengah, Jumat (28/) lalu, menyisakan trauma mendalam bagi warga terdampak. Terutama mereka yang tinggal di Kota Palu.
Data Badan nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Rabu (3/10) menyebutkan, korban meninggal akibat gempa dan tsunami sudah mencapai 1.407 orang. Belum termasuk mereka yang dinyatakan hilang, luka-luka, dan mengungsi.
Bukan hanya korban manusia, gempa dan tsunami meluluhlantakkan seisi kota. Tercatat, lebih dari 65 ribu rumah rusak dengan berbagai kategori.
Gempa berkekuatan 7,4 skala Richter (SR) membuat Kota Palu dan sekitarnya lumpuh. Terhitung, hingga Rabu (3/10), pemerintahan daerah belum berjalan.
Banyak toko yang masih tutup. Kalaupun ada yang sudah buka, harga yang dibanderol setinggi langit. Wajar, di tengah kondisi karut-marut pascagempa seperti ini.
Tak jarang, berita penjarahan sering muncul di media. Keamanan menjadi sedikit sulit, meskipun harus diakui pemerintah bergerak cepat untuk mengendalikan kondisi.
Namun, trauma tetap trauma, ketakutan masih hinggap di pikiran warga terdampak. Ada yang masih bertahan dengan membangun tenda-tenda di halaman rumah mereka, bagi yang rumahnya masih bisa berdiri.
Tak sedikit yang kebingungan karena rumahnya hancur, tak bisa ditinggali. Ditambah, gempa susulan masih sering terjadi di Palu.
Pergi dan keluar dari Kota Palu dianggap sebagian warga sebagai pilihan paling realistis sembari menunggu kondisi normal kembali. Bagi Mardani, warga Kabupaten Sigi, niatnya keluar dari Kota Palu bukan hanya soal hilangnya harapan di rumah mereka yang roboh.
Mardani dan seluruh keluarganya ingin pergi ke Makassar. Ia membawa sang ibu, istri, dan dua anak ditemui di Bandara Sis Al Jufri, Palu.
"Saya mau ke Makassar Mbak, mau cuci darah (dialisis). Di sini alat cuci darahnya di rumah sakitnya semua rusak," ujar Mardani lirih, Rabu (3/10).
Mardani masih mengantre pesawat Hercules. Tak tampak seperti satu keluarga ingin pindah rumah, mereka hanya membawa beberapa tas ransel. Mardani terlihat lemah dan pucat.
Sang istri, Muthia, menuturkan, Mardani sudah hampir sepekan tidak cuci darah karena penyakit ginjalnya. Gempa terjadi sejam sebelum jadwal dialisis dilakukan.
Muthia mengaku tak memiliki kerabat di Makassar. Mereka hanya memiliki saudara di Palopo, Sulawesi Selatan.
"Sampai sana (Makassar) katanya dijemput pihak medis, kalau keluarga nanti dengan kerabat yang dekat sana," ujar Muthia.
Ia juga menuturkan, beberapa tetangganya di Sigi memilih meninggalkan tempat tinggal mereka. Alasannya, rumah mereka rusak karena gempa dan tidak dapat ditinggali.
Jika pun bisa, banyak masyarakat trauma karena gempa susulan tersebut terjadi. Lebih lanjut, akses makanan dan air yang sulit menyebabkan warga kesulitan.
"Rumah kami rusak, tidak bisa ditinggali, suami juga harus cuci darah, sekolah anak saya juga roboh," kata Muthia.
Mardani dan keluarga pun tidak sendiri. Republika juga menemui warga Palu yang lebih dahulu meninggalkan Palu beberapa saat setelah gempa melalui jalur darat.
"Beberapa hari setelah gempa, itu masyarakat antre BBM untuk meninggalkan Kota Palu karena akses serbasulit," kata Suwandi, warga kota Palu.