Selasa 02 Oct 2018 21:01 WIB

BPPT: Tak Ada Tsunami Buoy di Laut Indonesia Sejak 2015

Tsunami bouy diangkut dari laut karena sudah tidak lagi berfungsi.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Bayu Hermawan
Sebuah kursi berada diantara bangunan yang ambruk dampak gempa dan tsunami di kawasan Pantai Taipa, Palu Utara, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Sebuah kursi berada diantara bangunan yang ambruk dampak gempa dan tsunami di kawasan Pantai Taipa, Palu Utara, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebut laut Indonesia sudah bersih dari alat pendeteksi dini tsunami (buoy) sejak 2015. Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT M Ilyas mengatakan, tsunami buoy diangkut dari laut karena sudah tidak lagi berfungsi.

Ilyas mengatakan, Indonesia mulai memasang buoy tsunami sejak 2005. Pemasangan itu dilakukan dengan inisiatif sendiri maupun kerja sama dengan berbagai negara. "Jadi yang banyak dulu itu 2005, ada beberapa yang dipasang kerja sama dari beberapa negara. Kita sendiri hanya ada sembilan yang dibuat dan dipasang BPPT sendiri," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (2/10).

Tak hanya itu, BPPT juga pernah bekerja sama dengan Jerman untuk memasang sembilan unit buoy pada 2005. Namun, buoy itu tak berfungsi dengan baik. Pada tahun yang sama, lanjut Ilyas, BPPT juga bekerja sama dengan Malaysia memasang satu unit buoy di Pulau Rondo, utara Aceh. Setelah itu, tiga unit buoy terpasang berkat kerja sama dengan Amerika Serikat.

"Satu di sekitar Pulau Siberut, satu di selatan Bali, dan satu lagi di utara Papua. Itu bukan melindungi kita tapi negara mereka di sekitar Pasifik. Namun kita bisa akses datanya," ujarnya.

Namun pemasangan buoy tidak ditindaklanjuti dengan operasional yang memadai. Pasalnya, Ilyas menegaskan, dalam menggunakan buoy untuk mendeteksi tsunami, bukan hanya pemasangan yang harus dilakukan, melainkan juga biaya pemeliharannya.

Ia mengatakan, tugas BPPT sebenarnya hanya membantu instansi seperti BMKG, untuk mengkaji teknologi terkait kebencanaan. Ihwal biaya pemeliharaan, anggaran BPPT tak dapat mencukupinya. "Anggaran BPPT lebih diprioritaskan untuk memelihara kapal kami sendiri," kata dia.

Ilyas berasumsi, anggaran pemeliharaan satu unit buoy tsunami per tahun bisa mencapai lebih dari Rp 3 miliar. Ia mencontohkan, untuk mengecek buoy di Laut Banda, diperlukan waktu sekitar 20 hari menggunakan kapal laut dari Jakarta. Sementara, biaya operasi kapal per hari bisa mencapai Rp 150 juta.

"Itu hanya perjalanannya saja, belum pemeliharannya, perbaikan, dan lain-lain," kata dia.

Menurut Ilyas, persoalan anggaran pemeliharaan buoy tsunami sebenarnya sudah disampaikan ke BMKG. Sebab, tugas BPPT hanya membuat, memasang, dan melakukan kerja sama dengan pihak luar negeri untuk buoy. Namun untuk biaya pemeliharaan, kata dia, harus ada yang mengambil alih.

Terkait kesiapan secara teknologi, ia mengklaim BPPT sudah sanggup membuat buoy tsunami. Namun untuk pemeliharaan, anggaran yang terbatas tak memungkinkan bagi BPPT tetap merawat buoy dengan maksimal.

Ia mengakui, beberapa buoy tsunami memang ada yang rusak akibat aksi vandalisme. Namun, tak serta merta kerusakan itu merupakan kesalahan nelayan Indonesia. "Di situ (buoy) memang banyak ikan, jadi sebagian nelayan itu sering menyandarkan kapal di sana. Mungkin juga itu nelayan dari luar negeri. Kan ini di laut lepas," kata dia.

Menurut Ilyas, untuk mendeteksi tsunami di seluruh wilayah Indonesia, setidaknya harus ada 22 buoy yang terpasang. Ia memetakan, sepanjang barat Sumatra butuh lima unit, Selat Sunda sampai selatan Papua tujuh unit, Palu satu unit, utara Manado satu unit, antara Manado dengan Maluku Utara satu unit, antara Papua dengan Maluku Utara satu unit, Pasifik satu unit, utara Papua satu unit, Laut Banda dua unit, utara Sumba satu unit, dan utara Lombok satu unit.

"Itu yang harus dipasangi buoy," ucapnya.

Meski begitu, buoy bukanlah satu-satunya alat pendeteksi dini tsunami. Ilyas mengatakan, BPPT saat ini sudah mulai merencanakan tsunami early warning system berbasis kabel laut. "Kemarin kita sudah mulai mengontak Kemenkominfo, Telkom, untuk membuat itu," kata dia.

Menurutnya, di Indonesia terdapat banyak kabel telekomunikasi di bawah laut antarpulau, bahkan antarnegara. Itu, lanjut dia, dapat diptimalkan untuk memasang alat sensor gempa dan tsunami. Ia menjelaskan, sensor itu akan memiliki fungsi yang sama dengan buoy tsunami. Bahkan, lebih cepat dalam menginformasikan dan jangkauannya lebih luas.

Namun, saat ini BPPT masih dalam tahap pembuatan proposal untuk pemasangan sensor deteksi dini gempa dan tsunami di kabel bawah laut. Menurut dia, teknologi ini sebelumnya pernah dikembangkan menjadi prototipe oleh BPPT dan berfungsi baik, meskipun hanya dalam jarak 2 kilometer dari bibir pantai.

"Namun kalau sampai laut dalam perlu kerja sama secara nasional. Karena kepemilikan kabelnya punya banyak pihak. Kita juga belajar dengan Jepang yang sudah mengembangkan itu," kata dia.

Ia menegaskan, penerapan teknologi ini perlu dukungan nasional dan harus didukung kebijakan anggaran yang jelas. Kalau seperti itu, kata dia, bukan tidak mungkin ke depannya akan jalan secara konsisten. "Mungkin kita akan menemukan teknogi yang lebih bagus lagi dan lebih murah," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement