Rabu 03 Oct 2018 00:32 WIB

Sudah Siapkah Kita Menghadapi Gempa dan Tsunami?

Mitigasi bencana belum menjadi isu serius bangsa ini.

Foto udara retuntuhan masjid di antara rumah-rumah warga yang hancur akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR) di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).
Foto: Hafidz Mubarak/Antara
Foto udara retuntuhan masjid di antara rumah-rumah warga yang hancur akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR) di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Indira Rezkisari*

Bencana alam seakan terjadi tanpa jeda di Tanah Air. Belum tuntas negara ini membantu pemulihan Lombok, NTB, dari gempa, sekarang Palu, Donggala, Sigi membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah dan warganya.

Duka mendalam dirasakan Indonesia setelah gempa dan tsunami menerjang Sulawesi Tengah, mengakibatkan lebih dari 800 orang meninggal dan ribuan orang lain belum diketahui nasibnya. Memang tidak ada yang pernah bisa memprakirakan kapan bencana alam akan terjadi. Tapi kondisi Indonesia yang rentan bencana rasanya memperlukan langkah komprehensif agar warganya tanggap bencana.

Tanggap bencana itu berarti setiap orang Indonesia memiliki pengetahuan dasar untuk menghadapi bencana. Sehingga bisa menghindarinya.

Di buku pelajaran IPS anak saya yang duduk di kelas dua SD, dia belajar soal menebang pohon yang mengakibatkan tanah longsor lalu memicu banjir. Belajar juga soal larangan membuang sampah agar tidak terjadi banjir. Bahkan belajar soal bencana gempa.

Tapi, tidak ada pelajaran soal apa yang harus dilakukan ketika terjadi gempa. Agaknya, ilmu mitigasi di Indonesia belum jadi isu serius.

Padahal sejarah mencatat dalam 15 tahun terakhir terjadi dua gempa hebat di Indonesia dengan korban sangat besar. Pertama, gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 yang menimbulkan korban 160 ribu jiwa meninggal di Indonesia dan 200 ribuan jiwa lain meninggal di 14 negara yang terdampak tsunami di Selat Hindia dengan gempa berkuatan 9 skala richter waktu itu. Sedang gempa di Yogyakarta tahun 2006 memakan korban jiwa lima ribu orang.

Belasan tahun berlalu, tapi publik masih tetap tidak paham apa yang harus dilakukan ketika bencana gempa terjadi, selain kabur keluar bangunan atau mencoba melindungi diri di bawah meja. Berlokasi di kawasan geologi aktif, Indonesia memang harus mempersiapkan diri menghadapi bencana geologi dan vulkanologi.

Ajarkan ke anak, keluarga, atau teman di rumah ketika gempa terjadi berarti Anda harus segera melindungi diri. Dikutip dari laman ready.gov, ketika gempa dan Anda sedang berada dalam mobil, segera pinggirkan kendaraan dan berhenti. JIka sedang di tempat tidur, bertahan lah di sana. Jika sedang di luar ruangan, bertahan di luar ruangan. Jangan menghalangi jalan dan jangan juga berlari keluar.

Anda bisa juga membuat latihan bencana gempa. Praktikkan Drop, Cover, Hold. Yaitu, Drop alias jatuhkan diri tanah seperti dalam posisi berjongkok. Cover atau lindungi kepala dengan leher dengan lengan. Merangkak sebatas dibutuhkan untuk menghindari bahan bangunan yang runtuh. Dan Hold atau berpeganglah pada furnitur atau benda di rumah yang kokoh sampai getaran gempa terjadi.

Coba ciptakan pola komunikasi darurat dengan keluarga sebagai mitigasi gempa. Buat titik janjian dengan keluarga untuk bertemu seandainya terpisah karena gempa.

Ada alasan kuat mengapa ketika gempa terjadi Anda justru tidak disarankan berlari keluar ruangan. Mencoba berlari saat gempa itu sangat berbahaya, tanah yang bergerak membuat orang yang berlari bisa dengan mudahnya terluka akibat kejatuhan puing bangunan atau pecahan kaca. Warga terdampak gempa akan lebih aman untuk bertahan di rumah dan melindungi kepalanya dengan berlindungi di bawah meja.

Gempa biasanya tidak bertahan lama. Hanya dibutuhkan waktu puluhan detik bagi gempa untuk terjadi.

Namun, ketika gempa berguncang lebih lama Anda harus waspada akan kemungkinan tsunami. Terutama jika Anda tinggal di pesisir pantai.

Tsunami di Aceh didahului oleh gempa. Gempa hebat sebesar 9 skala richter ketika itu diestimasi terjadi selama 10 menit.

Alam biasanya akan memberikan sejumlah pertanda terlebih dulu sebelum tsunami menerjang. Ketika tsunami mendekati garis pantai, biasanya air akan surut di pantai, menyebabkan bagian dalam laut seperti tersingkap dan memperlihatkan isinya, karang dan ikan dalam laut.

Karena air surut lalu umumnya ada banyak ikan yang menggelepar di pantai. Jangan coba memungut ikan-ikan tersebut.

Tsunami menimbulkan aktivitas laut yang tidak normal. Tanda berikutnya yang timbul adalah adanya dinding air disertai suara gemuruh hebat. Suaranya mirip bunyi kereta atau pesawat jet.

Segera mengevakuasi diri ke tempat tinggi begitu menemukan fenomena ini. Berlarilah terus ke depan dan jangan menengok ke belakang.

Teorinya memang terkesan mudah. Praktiknya tentu akan sangat sulit. Karena bencana alam tidak pernah bisa diprediksi manusia hanya bisa mengantisipasinya dengan mempersiapkan diri.

Cara siap menghadapi juga sebenarnya cukup banyak. Orang tua bisa mengajarkan anak, sekolah bisa membuat latihan evakuasi bencana gempa. Bisa menempel poster tentang apa yang bisa dilakukan saat gempa di dinding kelas, hingga memutar video-video siaga gempa yang dengan mudah dicari di YouTube.

Jangan malas belajar, karena tidak ada manusia yang bisa terhindari dari bencana. Dan, siklus bencana alam kemungkinan besar akan selalu terulang.

*penulis adalah redaktur gaya hidup Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement