Senin 01 Oct 2018 06:15 WIB

Jika Eks Koruptor Bisa Nyaleg, Kenapa CPNS Wajib Urus SKCK?

PKPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Warga menunjukkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang telah diproses seusai mengantre di Polresta Depok, Jawa Barat, Selasa (18/9).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Warga menunjukkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang telah diproses seusai mengantre di Polresta Depok, Jawa Barat, Selasa (18/9).

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Andri Saubani*

Musim panas Amerika Serikat (AS), pertengahan 1980-an. Christine Blasey Ford saat itu berusia 15 tahun saat dirinya mencoba melepaskan diri dari Brett Kavanaugh (17) yang sedang menggodanya di sebuah kamar tidur di sebuah rumah di Montgomery. Di tengah sebuah pesta remaja, Kavanaugh meraba-raba dan mencoba melepas pakaian Ford dan menutup mulut gadis itu ketika Ford mencoba untuk berteriak.

Ford akhirnya berhasil kabur ketika teman sekelas Kavanaugh, Mark Judge, ikut melompat ke atas mereka di tempat tidur. Ketiganya terjatuh dari kasur dan Ford pun berhasil melarikan diri.

Hampir 40 tahun kemudian, sepenggal cerita percobaan pemerkosaan itu terungkap kembali dan menghebohkan publik AS dua pekan terakhir. Dalam sebuah wawancara dengan Washington Post pada Ahad (16/9), Ford yang kini menjadi profesor di Universitas Palo Alto merasa bertanggung jawab untuk membuat pengakuan tentang apa yang pernah dilakukan Kavanaugh terhadapnya di sela proses pemilihan Kavanaugh sebagai Hakim Mahkamah Agung AS.

Di AS, jabatan Hakim Mahkamah Agung adalah pencapaian tertinggi bagi seorang yang berprofesi sebagai hakim. Hakim Mahkamah Agung adalah jabatan seumur hidup atau sampai seorang yang sedang menjabat memasuki masa pensiun. Kavanaugh, kini berusia 53 tahun, adalah hakim yang dicalonkan Presiden AS Donald Trump untuk menjadi pengganti Hakim Agung Anthony Kennedy yang pensiun pada bulan Juli 2018.

Menyusul Ford, dua perempuan lain yakni, Deborah Ramirez dan Julie Swetnick juga membuat pengakuan soal dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Kavanaugh. Meski mayoritas senator dari kubu Partai Republik tetap mendukung pencalonan Kavanaugh, bukan tidak mungkin  terungkapnya skandal ini bisa menggagalkan dirinya menjadi Hakim Agung setelah Trump belakangan mendukung upaya investigasi terbatas FBI terhadap Kavanaugh.

Jika Kavanaugh di ambang kegagalan menjadi Hakim Mahkamah Agung AS akibat skandal masa lalunya, di Indonesia, para eks koruptor melenggang masuk daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2019. Masa lalu mereka yang pernah melakukan kejahatan berkategori luar biasa (extraordinary crime) oleh Mahkamah Agung (MA) dianggap tak relevan dengan persyaratan pencalonan anggota DPR dan DPRD yang diatur dalam UU Pemilu.

Seperti diketahui, KPU sebelumnya menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota yang di dalamnya tercantum aturan larangan eks napi korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg). Namun, para eks koruptor melakukan perlawanan dengan menggugat PKPU tersebut ke MA yang berujung kemenangan 38 eks napi korupsi yang kini telah masuk dalam DCT Pemilu 2019.

Dalam pertimbangan putusannya, MA menilai PKPU 20/2018 bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyebutkan “bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”

Selain itu, materi kedua Peraturan KPU tersebut, juga dinilai bertentangan dengan Putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016. Putusan MK itu telah memperbolehkan mantan narapidana menjadi caleg, sepanjang yang bersangkutan mengumumkan kepada publik bahwa dirinya merupakan mantan terpidana.

Pihak MA berulang kali menegaskan, lembaga peradilan tertinggi itu bukannya berarti pro terhadap koruptor dan perilaku koruptif. Pembatalan PKPU 20/2018 semata pada pertimbangan hak asasi manusia dan PKPU bertentangan dengan UU Pemilu yang notabene adalah aturan yang berada di atasnya. Pertanyaannya, mengapa MA seperti memutus perkara di ruang hampa tanpa mempertimbangkan arus utama dukungan publik terhadap PKPU 20/2018? Wallahualam.

Selain skandal Kavanaugh dan pembatalan PKPU 20/2018 oleh MA, September juga adalah bulan di mana pemerintah membuka lowongan calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2018. Berdasarkan data Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), ada 238.015 lowongan CPNS pada 2018. Badan Kepegawaian Nasional (BKN) memprediksi ada sekitar 6 juta pelamar lowongan CPNS 2018.

Untuk bisa ikut melamar menjadi CPNS, jutaan orang harus memenuhi salah satu syarat wajib melamar, yakni mempunyai surat keterangan catatan kepolisian (SKCK). SKCK dulu dikenal dengan nama surat keterangan kelakuan baik (SKKB) yang diterbitkan oleh Polri yang berisikan catatan kejahatan seseorang.

Menjadi peristiwa jamak jika belakangan, kantor-kantor kepolisian khususnya di tingkat Polres di pusat maupun daerah setiap harinya dipadati antrean para pemohon SKCK. Jutaan pelamar CPNS 2018 rela antre dari pagi, bahkan sampai ada yang pingsan demi lembaran surat yang malah mungkin nantinya bisa ‘menjegal’ mereka dalam proses  rekrutmen lantaran ada noda ”pernah menjadi terpidana” dalam SKCK.

Padahal, kekhilafan atau dosa seseorang pada masa lalu belum tentu menjadi penentu kisah karier masa depan. Fenomena  di atas adalah bukti adanya standar ganda dalam kehidupan kita. Jika eks koruptor diperbolehkan nyaleg, mengapa pelamar CPNS wajib punya SKCK?

*Penulis adalah Redaktur Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement