Ahad 30 Sep 2018 20:20 WIB

Kota Padang Kekurangan Shelter Tsunami

Idealnya terdapat 100 bangunan yang bisa difungsikan sebagai shelter tsunami.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Endro Yuwanto
Warga bersama tokoh masyarakat, melakukan tabur bunga di Monumen Gempa 30 September 2009, di Padang, Sumatera Barat, Ahad (30/9).
Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Warga bersama tokoh masyarakat, melakukan tabur bunga di Monumen Gempa 30 September 2009, di Padang, Sumatera Barat, Ahad (30/9).

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Ibu kota Sumatra Barat, Padang, membutuhkan lebih banyak lagi shelter atau tempat berlindung untuk tsunami. Saat ini Kota Padang hanya memiliki empat unit bangunan shelter yang berada di Tabing, Ulak Karang, Asrama Haji, dan Air Tawar. Keempatnya adalah bangunan yang memang dibangun dengan peruntukan sebagai shelter.

Selain keempat shelter tersebut, sebetulnya terdapat 58 bangunan lain yang bisa difungsikan sebagai tempat evakuasi dari tsunami. Seluruhnya merupakan bangunan yang saat ini berfungsi sebagai kantor pemerintah, masjid, bank, pasar, hotel, hingga pusat perbelanjaan. Namun, pemerintah belum melakukan identifikasi rinci terhadap 58 bangunan yang berpotensi dijadikan sebagai shelter tersebut.

"Namun bagaimana akses ke sana dan berapa kapasitasnya, ini belum didata. Kami harus pastikan (keamanan dan kesiapan bangunan sebagai shelter), baru kami berani sebut bangunan itu shelter. Kalau nanti itu ambruk gimana," kata Kepala BPBD Kota Padang Edi Hasymi usai menghadiri peringatan 9 tahun gempa Padang, Ahad (30/9).

Edi menyebutkan, idealnya terdapat 100 bangunan yang bisa difungsikan sebagai shelter tsunami di Kota Padang. Banyaknya jumlah shelter yang dibutuhkan berdasarkan area kota yang memanjang sejajar dengan pesisir barat Sumatra. Belum lagi, 50 persen warga Kota Padang hidup di atas zona merah tsunami. "Kalau ditambah orang yang berasal dari daerah lain, bisa lebih dari 500 ribu orang hidup atas zona merah," kata Edi.

Namun bagi Edi, keberadaan shelter bukan perkara utama dalam menekan kerentanan bencana gempa dan tsunami. Menurutnya, terpenting adalah edukasi secara masif kepada masyarakat untuk lebih memahami langkah mitigasi.  "Kenapa orang tidak selamat? Karena mereka tidak punya ilmunya. Makanya kami lakukan sosialiasi dan mitigasi secara masif, terutama kepada warga di pesisir," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement