Sabtu 29 Sep 2018 06:27 WIB

PKI dan Kesadaran Sejarah

Betapa pentingnya sejarah bagi sebuah bangsa dan negara

Waspada Bahaya Komunis: Pengunjuk rasa membentangkan spanduk berisi penentangan terhadap komunisme (Ilustrasi).
Waspada Bahaya Komunis: Pengunjuk rasa membentangkan spanduk berisi penentangan terhadap komunisme (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Imam Nawawi, Sekretaris Jenderal Syabab Hidayatullah

Dalam sebuah diskusi ringan dengan para mahasiswa, satu di antaranya membuat penulis seakan mendidih saat dia dengan ringan mengatakan, “Bagi saya, PKI tidak ada masalah. Selama tidak mengganggu kehidupan saya pribadi, buat apa ributin PKI.”

Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagaimana namanya, hadir dengan tekad membawa ideologi komunis, yang dalam buku Mengapa G30S/PKI Gagal? karya Mayjen (Purn) Syamsudin disebutkan dalam upayanya senantiasa menghalalkan kekerasan, konfrontatif, dan tak kenal kompromi.

Itu dibuktikan dengan sejarah komunis di luar Indonesia. Disebutkan bahwa selama 74 tahun (1917-1991), ideologi Marxisme-Leninisme telah membunuh sekitar 100 juta manusia di 76 negara.

Mayjen (Purn) Syamsudin menulis, "Artinya, orang-orang dengan alasan ideologi Marxisme-Leninisme di dunia telah membunuh rata-rata 1,35 juta jiwa setiap tahunnya, atau 3.702 jiwa setiap hari, atau 154 jiwa setiap jamnya." (halaman: X).

Pada akhirnya, kekerasan itu memang juga tak terelakkan di dalam negeri. PKI melakukan pemberontakan sebanyak dua kali, yakni pada 18 September 1948 yang dipimpin Amir Syarifuddin dan Muso. Kemudian pada 30 September 1965.

Pemberontakan pertama dimulai dengan cara melakukan penculikan dan penganiayaan serta pembunuhan sejumlah penduduk sipil, polisi, dan ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Republika.co.id diunggah pada 30 September 2015, pukul 13.00 WIB).

Pada awal 1965, (masih dalam Republika.co.id), tepatnya 13 Januari 1965, PKI kembali melakukan kekerasan dan penodaan terhadap agama (Islam) yang ditandai dengan terjadinya 'peristiwa Kanigoro', di Kanigoro, Kediri, Jawa Timur. Tempat dilangsungkannya acara mental-training oleh Pelajar Islam Indonesia (PII).

Saat itu, pada 13 Januari 1965, di tengah acara, anggota PKI melakukan penggerebekan pada pagi hari setelah peserta melaksanakan shalat Shubuh. Saat itu, orang-orang PKI serta-merta datang dan serempak menyerbu lokasi mental-training.

Mereka mengambil buku-buku, termasuk Alquran di masjid, lalu dinjak-injak. Para peserta, termasuk panitia, 150-an orang, digiring dengan tangan diikat satu sama lain, dipaksa berjalan empat km sambil diintimidasi, diancam, serta diteror.

Pada sisi yang lain, penderitaan masyarakat terjadi begitu masif, karena sektor ekonomi awut-awutan. Salim Haji Said dalam bukunya Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto membagikan pengalaman pribadinya.

"Saya berumur 22 tahun ketika peristiwa itu (30 September 1965) terjadi dan sudah dua tahun menjadi penduduk Jakarta. Hidup amat sulit waktu itu. Inflasi mengamuk dengan dahsyat (650 persen) dan barang-barang sulit ditemukan di pasar. Harga keperluan sehari-hari di pasar amat buruk. Sebagai contoh, mandi dengan sabun Bris keluaran Unilever--sabun produksi dalam negeri terbaik waktu itu--menyebabkan kulit jadi bersisik segera setelah badan dikeringkan. Obat-obatan, terutama antibiotik, harus diperoleh di pasar gelap. Dengan harga mahal, tentu saja." (halaman: 30).

Jadi, bagaimana mungkin kita tidak gregetan atau bahkan marah kepada generasi muda bangsa yang buta akan sejarah bangsanya sendiri.

Kemudian dengan mengukur dirinya sendiri, ia mengatakan, tak ada apa pun yang berbahaya di negeri ini, kecuali telah mengganggu kehidupan pribadinya. Boleh jadi ini kasuistik, tapi setidaknya ini alarm bahwa generasi milenial bangsa patut diarahkan untuk mengenal sejarah bangsanya sendiri.

Betapa pentingnya sejarah bagi sebuah bangsa dan negara, Bung Karno pernah mengatakan, “Jangan sesekali melupakan sejarah.” Ungkapan ini bukan sekadar penting, melainkan juga menentukan perjalanan dan nasib dari masa depan suatu bangsa dan negara.

Generasi milenial boleh eksis dengan kompetensi yang dimiliki bahkan hingga tingkat global. Namun, tanpa pemahaman sejarah yang memadai, mereka hanya akan menjadi anak-anak bangsa yang tahu bagaimana mendapat keuntungan bagi dirinya dan keluarganya.

Mereka tidak mengerti bagaimana menjadi anak bangsa yang siap membela kepentingan Tanah Air, yang itu disebabkan mereka tidak mengerti amanat penderitaan rakyat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement