Jumat 28 Sep 2018 16:16 WIB

Dilema Amil, Antara Izzah dan Iffah

Izzah merupakan refleksi harga diri yang mulia dan agung.

Ilustrasi Zakat
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Zakat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nana Sudiana*

..."Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah [2] : 195)

Izzah bukan pencitraan, karena izzah adalah perintah agama untuk menunjukan betapa mulianya Islam sebagai sebuah ajaran bagi kehidupan manusia. Izzah merupakan refleksi sebuah harga diri yang mulia dan agung. Izzah ini harus ada dan tumbuh dalam hati setiap mukmin dan menjadi penghias setiap relung jiwa. Izzah juga merupakan kemuliaan, kehormatan dan kekuatan. Sumber terciptanya rasa dan perilaku Izzah bersumber pada Allah Rabbul ‘Alamiin.

Izzah yang terpelihara baik akan melahirkan kekuatan dan kemuliaan, karena hanya Allah pemilik sebenar-benarnya izzah, karena Allah itu Rabbul Izzati dan Allah menamakan dirinya ‘Al-Aziz’ (Maha Mulia, Maha Perkasa). Izzah diberikan pada makhluk-Nya sesuai pendekatan pada Rabbnya, semakin dekat dengan Allah, maka makhluk tersebut semakin memiliki Izzah. Makhluk yang paling dekat dengan Allah adalah para Rasul kemudian Mu’minin. …"Izzah itu milik Allah, RasulNya dan Mu’minin” (QS. Al Munafiqun (63) : 8).

Sedangkan pengertian ‘iffah adalah menahan. Adapun secara istilah ; menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah haramkan. Orang yang melakukan ‘iffah disebut ‘afif. Artinya, seorang yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan menginginkannya.

Baca juga: Dilema Amil Zakat, Manusia Biasa yang Bisa Salah dan Khianat

Bila kita cermati, Izzah dan ‘Iffah ini sesungguhnya adalah akhlaq yang tinggi, mulia, dan dicintai oleh Allah Ta’ala. Bahkan akhlaq ini merupakan sifat hamba-hambaa Allah Ta’ala yang shalih, yang senantiasa memuji keagungan Allah Ta’ala, takut akan siksa, adzab, dan murka-Nya, serta selalu mencari keridhaan dan pahala-Nya.

Izzah dan ‘iffah ini penting bagi amil yang ada di gerakan zakat Indonesia. Karena dengan tumbuh dan berkembangnya perasaan dan perilaku ini amil diharapkan menjadi sosok yang lebih utuh. Ia akan bangga terhadap OPZ-nya, dan membangun kebanggaannya dengan cara memastikan organisasinya tampil terbaik, dengan cara terbaik dan punya spirit professional yang tak kalah dari industri perbankan atau lainnya. Saat yang sama, ia juga memastikan punya kemampuan menjaga diri dari hal-hal negatif di dalam lembaganya, baik dari urusan pengelolaan maupun dari tindak tanduk atau perilaku personal para amilnya.

Orang-orang yang jadi amil, kemudian terpelihara sifat izzah dan ‘iffah dalam dirinya, insya Allah akan menjadi pilar kuat tumbuhnya kepercayaan dari seluruh pemangku kepentingan dunia zakat. Siapa pun ia, baik muzaki, mustahik, regulator, pemerintah, maupun media dan lembaga sipil kemasyarakatan lainnya akan nyaman berkomunikasi dan beraktivitas bersama. Lahirnya sikap izzah di gerakan zakat akan menyelamatkan gerakan zakat dari perpecahan, saling merasa lebih hebat serta merasa lebbih dipercaya publik.

Di era media sosial seperti ini, pencitraan sudah tidak lagi sesuai zamannya. Jejak digital telah dengan jelas memberi informasi kepada publik akan konsistensi sebuah sikap atau perilaku. Di dunia gerakan zakat Indonesia, sikap izzah juga menjadi salah satu kekuatan yang akan menyelamatkan gerakan zakat dari efek bola salju bila ada kasus yang kurang baik di salah satu lembaga zakat. Insya Allah bila sikap izzah ini dipegang, dipelihara dan secara konsisten diamalkan dalam kehidupan nyata, maka bila ada turbulensi di gerakan zakat, hal ini akan lebih mudah untuk masuk ke fase pemulihan.

Bagi para aktivis gerakan zakat Indonesia, ruh “bisnis utama” pengelolaan zakat sesungguhnya adalah kepercayaan. Dan fatsoen yang berlaku di gerakan zakat adalah, “saling menjaga agar satu lembaga tak jatuh ke dalam keburukan, akan menyelamatkan semuanya dari ketidakpercayaan”. Ini artinya, bila salah satu lembaga diketahui ada kekurangan, bahkan bisa menjurus ke hal negatif dari sisi pengelolaan, maka kewajiban lembaga yang lain untuk mengingatkan dan memastikan bisa kembali pada aturan dan rencana yang sesuai dengan regulasi dan aturan yang ada. Membiarkan satu lembaga jatuh, akan menyeret lembaga lainnya dan meruntuhkan langit kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat.

Cara memperbaiki dan saling menegur agar kembali baik di lembaga yang ada di gerakan zakat ini unik. Para peneliti, apalagi yang selama ini hanya melihat dari luar tentang gerakan zakat, khususnya melihat jumlah penghimpunan, luasan program dan dampaknya, tentu akan sulit menangkap situasi kebatinan gerakan zakat Indonesia.

Dari permukaan luar, bisa jadi gerakan zakat Indonesia ini landai, tapi sesungguhnya bila ada yang sanggup memasuki jantung-jantung persoalannya, ia akan terperangah. Tak mudah relasinya, apalagi soal manajemen emosi dan perasaan para amilnya.

Di dunia gerakan zakat Indonesia memang ada yang Allah takdirkan jadi  bagian penting pengambil kebijakan zakat Indonesia, tetapi bila ia tak berasal dari dunia gerakan zakat Indonesia, maka bisa jadi ia tak paham cara berkomunikasi dengan para aktivis dan penggeraknya. Ada regulasi dan tata kelola di dunia gerakan zakat Indonesia, tapi saat yang sama, ada perasaan dan suasana kebatinan yang tumbuh dan menjadi lansekap cara bergaul dan berbicara para aktivis dan penggerak dunia zakat Indonesia.

Dalam perjalanannya, bila ada gap komunikasi antara dunia formal zakat Indonesia dengan para aktivis dan penggeraknya, maka lhat sajalah lebih dalam latar belakangnya masing-masing. Persoalan komunikasi ini memang tak mudah di gerakan zakat. Jangankan dengan orang berlatar belakang yang berbeda, dengan sesama aktivisnya saja tak mesti mulus. Apalagi juga bila dengan sejumlah “alumni” gerakan zakat.

Jangankan soal perasaan yang harus bisa saling mendekat, bahkan Istilah “gerakan zakat” ini sendiri sebenarnya tak ditemukan dalam pembicaraan formal pemangku kepentingan zakat. Apalagi dalam regulasi yang ada. Istilah 'gerakan zakat' lahir dari rahim  para aktivis dan penggeraknya untuk menekankan akan adanya spirit perjuangan yang lebih dalam maknanya dari sekedar 'menjalankan profesi sebagai pejabat atau petugas pengelola zakat'.

Inilah yang jadi pekerjaan rumah terbesar gerakan zakat Indonesia, menyatukan rasa kebanggaan dalam satu gerakan dan gelombang perbaikan umat dan bangsa. Beragamnya perasaan bahwa setiap lembaga itu punya harga diri, kehormatan dan kemuliaan bila tidak tertata dengan baik akan jadi boomerang bagi gerakan zakat Indonesia.

Di balik soliditas dan kuatnya ukhuwah para amil zakat, saat yang sama tumbuh spirit fastabiqul khairat untuk menjadi yang terbaik, terdepan dan terbesar. Sebaliknya, dalam situasi-situasi tertentu, gerakan zakat demikian kuat soliditasnya, apalagi jika ada common enemy yang muncul.

Kembali ke soal kaitannya dengan izzah dan cara berkomunikasi di dunia gerakan zakat, jika pendekatannya melulu formal, apalagi dibumbui dengan “ancaman” berbasis regulasi yang mengutip akan adanya sanksi dan hukuman, jelas cara komunikasi yang terlihat tak memahami situasi kebatinan gerakan zakat Indonesia.

Di tengah izzah yang tumbuh dalam nurani amil-amil dan aktivis gerakan zakat Indonesia, gaya pendekatan ini agar mereka mendengar dan mengikuti aturan yang ada sesungguhnya nisbi. Kalaupun benar mengikuti, hadir dalam seluruh dinamika yang ada, belum tentu nuraninya merasa dihargai secara memadai.

Amil ini punya izzah, punya kebanggan atas urusan yang ia kelola. Spirit ini yang menjadikan seseorang yang tadinya biasa saja lalu ketika jadi amil, ia merasa telah berbuat baik, bahkan jadi “wakil gerakan kebaikan” dalam mengurus bagian umat yang sangat memerlukan.

Jangan abaikan perasaan para amil dan aktivis gerakan zakat Indonesia. Di balik diamnya, bisa jadi ada doa-doa dan gandengan tangan yang saling ditautkan. Jangan anggap remeh para amil yang sejak adanya regulasi tentang zakat, begitu antusias mengurusnya dan bertekad menjadi lembaga yang paling patuh sesulit apapun prosesnya. Siapa pun yang duduk di pengambil kebijakan urusan zakat, mari kita mudahkan prosesnya dan bila perlu dibimbing dan didampingi agar mereka semua bisa lebih nyaman dan merasa terlindungi dengan baik.

Istilah ilegal atau tidak sesuai hukum adalah istilah yang sedikit banyak menyakiti perasaan gerakan zakat Indonesia. Para amil dan aktivis gerakan zakat yang masih berharap bisa berproses demikian tertohok dengan munculnya istilah-istilah yang justru kontra produktif bagi tumbuh dan berkembangnya izzah gerakan zakat Indonesia.

Di saat gerakan zakat Indonesia tumbuh dengan semangat bahu-membahu dengan spirit kegotongroyongan membangun izzah dan kehormatan, zakat ini sesungguhnya penting untuk terus ditingkatkan dan peran-nya diperbaiki. Justru ada istilah tadi yang bukan hanya menyulut kekagetan, namun juga lebih dari itu merefleksikan tidak adanya semangat yang sama dalam memajukan gerakan zakat Indonesia.

Para aktivis dan penggerak zakat di Indonesia tak sedikitpun terpikir untuk menyalahi, apalagi melakukan aktivitas yang tak sesuai dengan regulasi. Idealnya, bila sama-sama ingin memajukan dan menjaga marwah gerakan zakat, mari kita saling berbicara dan berkomunikasi untuk mencari yang terbaik bagi gerakan zakat Indonesia.

Sejatinya perasaan amil yang dihargai, apalagi dibantu dimudahkan dengan dicarikan jalan tengah agar sesuai dengan seluruh aturan yang ada. Bukan hanya akan membuat situasinya menjadi sangat kondusif, bahkan apapun yang dimintakan ke para penggerak dan aktivis zakat serta organisasinya, pasti mereka berikan.

Jiwa para amil dan aktivis zakat ini kan secara umum adalah para pemurah. Walau mereka bisa jadi bukan orang kaya secara personal, tapi melalui lembaganya, mereka bekerja siang malam untuk membantu sesama yang membutuhkan, bahkan bila perlu, mereka juga tak segan berkorban harta dan mungkin juga jiwa. Inilah sebenarnya yang perlu dijaga ketika masuk dan menjadi bagian gerakan zakat Indonesia. Menjaga izzah dan marwah lembaga ini penting, termasuk menjaga harga diri para amil, aktivis dan penggerak zakat di dunia gerakan zakat Indonesia.

  

Ingatlah, zakat bukan industri biasa. Bahkan sebagiannya tak mau zakat disebut sebuah industri. Saat yang sama, zakat dan para pengelolanya juga sesunguhnya begitu merdeka jiwanya. Mereka, kalau sudah urusan panggilan nurani untuk membantu sesama, akan bergerak kapanpun dan dalam kondisi bagaimanapun.

Bahkan kini lembaga zakat yang ada, sebagiannya telah bekerja untuk membantu persoalan kemanusiaan di negeri-negeri yang jauh dari negara kita. Ini menunjukan era lembaga zakat kini sudah demikian maju dan sanggup melampaui kecepatan negara dalam melakukan respon persoalan kemanusiaan yang jauh sekalipun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement