Selasa 25 Sep 2018 08:08 WIB

Memilah Relawan

Prabowo-Jokowi sudah berangkulan, relawan timses harus pun harus mencerdaskan.

Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno
Foto: Foto : MgRol112
Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Silih Agung Wasesa, Staf Pengajar Komunikasi Politik, FISIP Universitas Indonesia.

Dengan disahkannya pasangan Jokowi-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno sebagai capres cawapres dalam Pemilihan Presiden 2019, dimulailah liga politik lima tahunan Indonesia. Liga politik, liga sepak bola, ataupun liga basket, sekarang sudah hampir sama satu sama lain. 

Ada pertukaran pemain di setiap musim kompetisi. Seorang pemain bisa beda kubu ketika berada pada musim kompetisi berbeda.

Harapan agar persaingan pemilihan umum menjadi cair, secair liga-liga olahraga atau bahkan seperti halnya persaingan dalam jenama komersial, menjadi semakin dekat.

Intinya, dengan cairnya perpindahan pemain kompetisi, seharusnya masyarakat paham, ini sekadar pertarungan kepentingan biasa. Tidak perlu bermusuhan, keluar dari grup Whats App.

Inilah pergantian pemain dalam liga politik Indonesia. Megawati dan Prabowo pernah bergandengan di satu kubu, menjadi capres dan cawapres. Sekarang mereka di kubu yang bersaing satu sama lain.

KH Ma’ruf Amin yang pada pilkada lalu membuat fatwa Ahok menistakan agama, hingga menciptakan gerakan 212, untuk pilpres kali ini justru harus berhadapan dengan komunitas 212 itu sendiri. 

Ida Fauziyah, politikus senior yang berhadapan dengan Ganjar Pranowo saat pilkada Jawa Tengah, sekarang bergandengan tangan membela Jokowi-KH Ma’ruf Amin. Belum lagi kisah hate-love PKS dengan PDIP. Mereka berseteru di beberapa pilkada, tapi juga berdampingan mesra di pilkada lainnya.

Satu lagi, Sandiaga Uno harus beradu taktik dengan sahabat karibnya sejak kecil, Erick Thohir di Pilpres 2019 ini. Belum lagi Ridwan Kamil yang dalam liga politik 2014 mendukung Prabowo, sekarang menjadi pendukung Jokowi.

Sayangnya, mengapa eskalasi 'kebaperan' antarpendukung masih begitu tinggi di percakapan-percakapan ruang publik. Seseorang bisa dikeluarkan dari kelompok, ketika berbeda pilihan dengan mayoritas kelompok tersebut.

Secara kasat mata, kita melihat gerakan-gerakan minor yang terkesan meruntuhkan kekuatan kubu capres tertentu. Beberapa ustaz yang berafiliasi dengan capres Prabowo mengalami persekusi. Mereka mendapat tekanan ketika akan ceramah.

Di sisi lain, isu lama mengenai tuduhan keterlibatan Jokowi dengan PKI kembali muncul dipermukaan. Karakter Kiai Ma’ruf diturunkan seolah-seolah hanya orang tua tidak berdaya yang dimanfaatkan oleh penguasa sekarang.

Bila kita tangkap perbincangan tersebut dengan menggunakan Drone Emprit, sebuah engine analytic buatan Ismail Fahmi, akan tampak bagaimana dua kelompok relawan saling serang.

Persilangan serangan linimasa yang semakin sengit, menunjukkan bakal terjadi gempuran-gempuran dahsyat. Mengapa masih ada serangan, padahal secara verbal, kedua belah pihak sudah sepakat untuk kampanye damai.

Prabowo-Jokowi sudah berangkulan, sekalipun butuh tarikan dulu dari Hanifan Yudani Kusumah, atlet silat pemenang medali emas Asian Games. Sandiaga Uno dan Erick Thohir dengan naturalnya saling tertawa setelah berpelukan.

Lantas, di manakah sebetulnya letak kesenjangan terjadi, antara relawan 'baperan' dan timses yang ingin kampanye sejuk? Apakah timses bermuka dua, di mana tampak muka berwajah manis, tapi sebetulnya muka belakang bertaring drakula?

Sejauh ini, masing-masing timses tidak memberikan respons signifikan ketika terjadi gerakan-gerakan minor. Saat UAS dipersekusi GP Ansor dan Banser untuk tidak tampil di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Cak Imin hanya menawarkan untuk datang ke NU.

Saat isu Jokowi adalah PKI, tidak sedikit pun ada reaksi dari Prabowo ataupun timsesnya bahwa itu adalah hoaks tidak bertanggung jawab. Dan beberapa kasus lain sejenis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement