Selasa 25 Sep 2018 00:12 WIB

Debat Kusir, Belajar dari Jawaban Cerdas Agus Salim

Debat kusir asal bicara tanpa kecerdasan tak akan memberikan pencerahan komprehensif

Agus Salim
Foto: Istimewa
Agus Salim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar

Melihat perdebatan para politisi atau pemihakan pengamat politik yang tampak kasat mata di televisi, yang ada justru menampakkan sikap tidak simpatik dan hanya menampilkan adegan menang-menangan dari lawan bicaranya. Debat kusir asal bicara, tanpa kecerdasan dan apalagi kualitas bangunan narasi yang disampaikannya, tentu tidak akan dapat memberi pencerahan komprehensif pada publik, tetapi justru mengajarkan pada anak-anak dan remaja kita perilaku tidak terpuji.

Acap dengan tidak malu-malu, kita bisa lihat sikap pembelaan pada pihak yang 'mengupahnya' menampakkan perangai arogan, sok jagoan yang siap berkelahi sekalipun dengan lawan bicaranya, bak preman pasar. Adegan memalukan di salah satu televisi swasta dalam acara talk show, berkenaan dengan perdebatan soal 'sah tidaknya' #2019GantiPresiden, antara Ali Mokhtar Ngabalin yang hadir di studio dengan Mahendradatta (pengacara) lewat sambungan telepon.

Ali, yang selaku juru bicara pemerintah, dengan entengnya menantang Mahendradatta untuk datang ke studio. Dan karena sikapnya itu, Mahendradatta tidak meladeni dan menutup sambungan teleponnya.

Tidak bisa dibayangkan jika mereka dipertemukan di ruang studio yang sama, bisa jadi akan terjadi baku hantam yang tidak pantas dilihat. Ini pemandangan yang tidak baik untuk ditonton remaja kita yang seharusnya mendapatkan pelajaran ilmu dan etika perdebatan yang baik, dewasa dan sehat.

Kita sudah tidak dapat lagi melihat perdebatan atau jawaban cerdas dari tokoh-tokoh masa lalu, yang jika dikritik atau ditanya menanggapinya dengan bahasa santun, bahasa yang tidak mencederai lawan bicaranya. Sehingga yang terbangun adalah sikap saling memahami bahwa ada perbedaan, dan karenanya saling menghargai. Intelektualitas plus emotional quality yang baik, menjadikan perdebatan itu menarik dan bermutu dengan emosi yang terjaga.

Intelektual Saja Tidaklah Cukup

Di tahun 1930-an, saat Sarekat Islam (SI) dengan salah satu tokohnya Haji Agus Salim mengadakan rapat. Tanpa dinyana menelusup di rapat itu anak-anak komunis pimpinan Muso, berulah.

Saat Haji Agus Salim berdiri di mimbar untuk memberi pembekalan pada pengurus dan anggota Sarekat Islam, terdengar suara yang tidak mengenakkan, suara yang muncul dari barisan belakang. Disinyalir dari kalangan PKI Muso, “...Embekk, ...embekk, ...embekk...” bersahut-sahutan, suara khas kambing.

Suara yang mengolok-olok Haji Agus Salim, yang memang memakai jenggot khasnya, jenggot putih, yang “diserupakan” mereka dengan kambing. Saat memulai bicara, Haji Agus Salim bertanya pada panitia, “Maaf saudara panitia, apakah saudara di samping mengundang para aktivis Sarekat Islam, saudara juga mengundang gerombolan kambing? Karena saya mendengar suara kambing di tempat ini...”

Itulah jawaban cerdas, dengan tingkat emosi yang terjaga dari Haji Agus Salim. Jawaban yang langsung mengena, tidak terasa kasar, tapi telak menghantam mereka yang mengolok-oloknya... Setelah jawaban “telak” itu, tidak lagi terdengar suara gaduh mengembek-embek di ruang itu.

photo
Sukarno dan Agus Salim ketika diasingkan ke Prapat, Sumatra Utara.

Haji Agus Salim mencontohkan jawaban pada mereka yang mengolok-olok dengan jawaban yang sesuai dengan olok-olok itu. Suara kambing akan keluar dari mulut kambing atau yang “menyerupai” kambing.

Jawaban yang tidak perlu membuat kosakata atau padanan lain, cukup dengan mengembalikan suara kambing pada “pemilik suara”, yaitu kambing. Kisah “Haji Agus Salim dan Kambing” terdapat dalam beberapa versi, dan semua kisahnya tidak keluar dari olok-olok terhadapnya yang diserupakan dengan kambing.

Setelah “belajar” dari Haji Agus Salim, kita akan menengok jauh ke belakang, yaitu di zaman tabi’in... Adalah Abu Sya’bi, tokoh yang ingin kita angkat, yang kerap menjawab pertanyaan-pertanyaan sekalipun 'nyeleneh' yang ditanyakan padanya, dengan tidak menghardik si penanya.

Suatu ketika, saat berjalan di keramaian, datanglah seseorang yang bertanya padanya dengan pertanyaan yang tidak biasa. “Aku ingin bertanya padamu, wahai Abu Sya’bi, siapa nama istri iblis?”

Abu Sya’bi yang mendapat pertanyaan itu, tidak lalu meninggalkannya, karena itu pertanyaan “main-main” dari orang iseng yang mau memancing kesabarannya. Abu Sya’bi tetap menjawabnya, dengan jawaban sesuai dengan yang “dimaui” si penanya.

“Waduh, maaf. Saat iblis menikah, saya salah satu yang tidak menerima undangannya. Jadi saya tidak tahu siapa nama istrinya.”

Inilah jawaban bijak, yang disesuaikan dengan kadar si penanya. Tidak dibuatkan narasi dengan argumen njlimet untuk menjawab pertanyaan “iseng” tanpa guna.

Haji Agus Salim maupun Abu Sya’bi, dan tentu banyak tokoh lainnya, yang tingkat intelektual dan emosinya baik, memberi jawaban yang sesuai dengan porsinya. Jawaban yang juga punya sense of humor yang tinggi, menggelikan setiap yang mendengarnya. Ada kelucuan yang ditorehkan pada jawaban-jawabannya.

Karenanya, seorang tokoh pada bidang apa pun, tidak cukup memiliki kemampuan intelektual semata, tapi juga dituntut memiliki kemampuan mengelola emosi yang baik. Wallahu A’lam.

 

*) Pemerhati Sosial Keagamaan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement