Ahad 23 Sep 2018 12:25 WIB

Dunia Darurat Pencari Suaka

Sejumlah negara keras membendung para pencari suaka.

Pencari suaka di Manus Island.
Foto: ABC News
Pencari suaka di Manus Island.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nuraini*

Tempat berlindung atau suaka di dunia kini langka. Setidaknya itu yang dirasakan oleh para pengungsi di seluruh dunia. Negara tak lagi menawarkan tempat aman untuk hidup. Pencari suaka pun merajalela. Sayangnya, para pencari suaka yang lari dari negaranya semakin teraniaya. Tak ada solusi untuk kembali.

Jumlah pengungsi di dunia yang dicatat PBB mencapai 68 juta orang. Pada 2017, satu orang mengungsi setiap dua detik. Mereka terpaksa lari dari negaranya yang terkoyak perang atau konflik perkepanjangan.

Populasi terbesar pengungsi tetap dipegang orang-orang asal Palestina.  Sedikitnya ada sekitar 5,9 juta pengungsi Palestina yang tersebar di seluruh dunia. Mereka menghuni kamp yang sebagian besar tersebar di Yordania, Lebanon, dan negara-negara lain. Selain itu, masih banyak pengungsi Palestina yang menetap di kamp-kamp pengungsian di Tepi Barat dan Jalur Gaza, wilayah pendudukan Israel.

Kondisi pengungsian Palestina semakin memprihatinkan. Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) terancam krisis keuangan setelah Amerika Serikat memangkas dana bantuan dari yang diperjanjikan 365 juta dolar AS, menjadi hanya 60 juta dolar AS. Kondisi itu bisa mengancam layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan pangan pengungsi Palestina.

Selain Palestina, lima negara menyumbang pengungsi terbesar di dunia. Kelimanya yakni Suriah, Afghanistan, Sudan, Somalia, dan Myanmar. Warga negara itu lari dari negaranya akibat persekusi dan peperangan yang tak kunjung mereda.

Perang yang berlangsung di Suriah sejak 2011 telah memaksa 5,5 juta orang meninggalkan negaranya. Arus pengungsian hingga saat inipun belum berhenti dengan adanya serangan terbaru di Provinsi Idlib. Jumlah pengungsi asal Suriah diperkirakan melonjak. Dari catatan PBB, sedikitnya 6,3 juta asal Suriah menjadi pengungsi dan mencari suaka.

Sementara itu, kekerasan yang dilaporkan PBB sebagai niat genosida oleh militer Myanmar telah memaksa warga Rohingya lari dari wilayah Rakhine. Pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh telah mendekati 500 ribu orang. Meski konflik meletus pada 2017, gelombang pengungsi tetap terjadi hingga paruh kedua 2018 akibat ketiadaan kebijakan berpihak Rohingya dari otoritas Myanmar. Kondisi pengungsian di negara suaka itu pun memprihatinkan. Kamp pengungsian penuh sesak dengan ancaman krisis kesehatan.

Pengungsi dunia tak hanya mencari suaka di sekitar perbatasan negaranya. Banyak dari mereka terpaksa menempuh perjalanan berbahaya untuk mencari suaka ke Eropa hingga wilayah Amerika. Spanyol telah dilewati 35 ribu pengungsi yang mencoba masuk Eropa lewat laut atau daratan. Perjalanan yang berbahaya kerap berakhir dengan pencari suaka kehilangan nyawa. Foto Alan Kurdi, bocah tiga tahun asal Suriah yang tewas karena kapalnya tenggelam di Laut Tengah saat hendak mengungsi menjadi bukti krisis pengungsi untuk dunia.

Atas kondisi pengungsi yang terus membanjiri negara-negara lain dan sebagian meregang nyawa, kebijakan dunia belum cukup progresif, bahkan tak menyelesaikan akar masalah. Salah satu yang kontroversial adalah anjuran Presiden AS Donald Trump untuk membangun tembok yang menghalangi para pencari suaka Eropa yang masuk lewat Spanyol. Ide itu mirip dengan rencananya membangun tembok tinggi sepanjang perbatasan Meksiko untuk mencegah para imigran masuk AS.

Negara lain seperti Italia pun tidak kalah keras dalam membendung aliran pengungsi. Italia menutup jalur di Laut Tengah dengan membuat perjanjian dengan Libya untuk mencegat para imigran. Mereka menutup pelabuhan sepenuhnya untuk para pengungsi.

Cara-cara keras menolak pengungsi itu tentu bukan solusi. Cara itu akan percuma karena gelombang pengungsi akan terus terjadi selama perdamaian dan kondisi layak hidup tak ditawarkan negara. Perdamaian semestinya menjadi misi negara di seluruh dunia. Jika tidak, pengungsi akan menjadi masalah abadi.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement