Ahad 23 Sep 2018 08:55 WIB

Paradoks Radikalisme

Radikalisme dalam beragama berarti kembali ke fondasi murni seperti akidah.

KH Haedar Nashir (Ilustrasi)
Foto:

Namun, menjadi salah manakala radikalisme agama secara mudah dialamatkan kepada Islam dan umat Islam Indonesia. Keliru juga manakala terjadi perbedaan pandangan keagamaan dari mayoritas mazhab atau paham dengan mudah dikonotasikan pada radikalisme agama.

Lebih keliru lagi manakala ada semacam otoritas tertentu yang diberikan atau digunakan oleh golongan keagamaan tertentu untuk melabeli pihak lain yang berbeda dengannya sebagai radikal dan radikalisme Islam. Apalagi jika label radikalisme Islam itu harus selalu ada demi melestarikan proyek deradikalisme. Tudingan radikal dan radikalisme Islam menjadi sangat murah-meriah, bergantung pada pihak yang dominan dan berkepentingan dalam politik keagamaan.

Selain itu, dalam kenyataan, radikalisme agama pun berlaku umum untuk semua agama atau lebih tepatnya pada semua umat beragama. Radikalisme atau dalam idiom lain fundamentalisme yang melahirkan kekerasan atas nama agama dalam kajian para ahli juga dilakukan oleh pemeluk agama pada umumnya selain Islam, seperti Kristen-Katolik, Hindu, Buddha, dan lainnya seperti temuan Richard T Antoun (2003), Juergensmeyer (2000), Amstrong (2000), dan studi empirik lainnya.

Artinya, ketika membahas radikalisme agama tidak dapat sembarangan ditujukan kepada agama dan umat beragama tertentu, juga dengan sudut pandang tertentu. Radikalisme Islam pun manakala dikaitkan dengan sejumlah kasus mutakhir dalam kenyataannya mengandung banyak muatan kepentingan dan bersifat kompleks (Youssef M Choueiri, 1990; Hassan Hanafi, 1989).

Perlu dipahami pula kecenderungan radikal dalam beragama maupun sikap hidup lainnya sering terjadi karena berbenturan dengan kelompok lain yang sama radikal. Tariq Ali memperkenalkan istilah ”benturan antar-fundamentalisme”, yang melibatkan kelompok keagamaan yang menunjukkan sikap “religious fundamentalism” (fundamentalisme keagamaan) dengan sikap yang sama radikalnya di seberang lain yang disebutnya “imperial fundamentalism” (fundamentalisme penjajah), yang satu seperti diwakili sosok Osama bin Laden dan lainnya Goerge W Bush (Tariq Ali, 2003: xi). Lahirnya radikalisme agama berhadapan dengan radikalisme ideologi, politik, ekonomi, dan radikalisme lainnya.

Artinya, jangan pernah mereduksi pandangan tentang radikalisme, lebih-lebih dengan satu sudut pandang dan hanya ditujukan kepada pihak tertentu. Ketika terdapat radikalisme agama dan melibatkan umat beragama, selalu perlu pertanyaan lebih mendasar.

Mengapa sikap dan tindakan radikal keagamaan seperti itu terjadi dalam kehidupan umat beragama, padahal agama mengajarkan perdamaian dan kebajikan? Bagaimana dengan radikalisme di luar keagamaan yang sama radikalnya, termasuk radikal atas nama nasionalisme dan ideologi lain yang memproduksi ekstremitas, intoleransi, dan bahkan kekerasan verbal maupun fisik.

Posisi kaum moderat yang objektif sangatlah tegas. Jauhi radikalisme dalam bentuk apa pun yang membawa pada paham serbaabsolut, lebih-lebih mengandung ekstremisme, intoleransi, dan kekerasan. Namun, jangan ambigu dan melakukan politisasi dalam mengonstruksi radikalisme sehingga label dan konsep radikalisme hanya diperuntukkan bagi golongan tertentu sembari menegasikan radikalisme lainnya.

Paradoks pandangan yang berstandar ganda dan politis seperti itu hanya akan melahirkan sesat pikir, kebijakan, dan tindakan yang rawan penyimpangan dalam menyikapi radikalisme. Akhirnya jatuh pada pemikiran yang apriori, bagaikan kata pepatah klasik, “masuk ke mulut dimuntahkan, tiba di perut dikempiskan!”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement