Jumat 21 Sep 2018 07:30 WIB

Dradjad: Para Pembantu Presiden Kok Malah Bikin Gaduh

Persoalan beras kerap memunculkan kegaduhan.

Beras impor (ilustrasi)
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Beras impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Seperti di bulan Januari 2018, beras kembali menjadi kegaduhan politik. Gaduhnya bukan karena ribut antara kubu Jokowi vs kubu Prabowo. Tapi, justru antara para pembantu Presiden.

Dradjad mengatakan, beras menjadi barang ekonomi-politik yang aneh di era Presiden Jokowi. Contohnya pada saat musim panen raya Desember 2017-Februari 2018, harga beras malah melonjak.

"Harusnya kan harga turun ketika panen raya. Kemendag pun akhirnya memutuskan mengimpor 500 ribu ton beras pada 11 Januari 2018,” kata Dradjad kepada Republika.co.id, Jumat (21/9).

Posisi Kementan adalah menentang impor. Karena, kata Dradjad, menurut Mentan panen lebih dari cukup. Mentan bahkan katanya siap menggaungkan swasembada.

''Di Republika.co.id pada bulan Januari 2018 saya pernah menulis tentang tidak masuk akalnya data beras dari Kementan dan BPS,” ungkap Dradjad.

Dijelaskannya, jika memercayai data Kementan dan BPS, Dradjad  menghitung produksi beras itu minimal sebesar 50,2 juta ton. Sementara, konsumsinya sekitar 25,7 juta ton. Artinya, produksi hampir 2 kali lipat konsumsi, atau surplus hampir 100 persen.

"Tapi jika memang Indonesia surplus beras, kenapa barangnya tidak ada di pasar? Kok harga beras melonjak, malah melonjak menjelang puncak panen Januari/Februari 2018?” tanya politikus PAN ini.

Karena masalah beras, kata Dradjad, citra Presiden Jokowi pun merosot. Apalagi pada Januari 2018 tarif listrik naik, harga-harga juga mahal. Klaim Mentan pun, kata Dradjad, ditolak oleh pemerintah sendiri. Impor malah dinaikkan menjadi 2 juta ton.

Dradjad menyebut bahwa pada September 2018 bukan musim panen raya. Banyak daerah masih mengalami kemarau. Harusnya kan stok beras turun. Tapi Mendag dan Kabulog, lanjut Dradjad, justru ribut karena stok berlimpah sehingga gudang tidak cukup.

"Ributnya parah banget sampai keluar makian “matamu”. Padahal, kontrak impor sudah telanjur dibuat. Beras impor terlanjur berdatangan. Mau dibuang ke mana beras impor yang masih akan terus masuk tersebut? Jika memang kebanyakan impornya, apa waktu memutuskan angka 2 juta ton kapasitas gudang Bulog tidak dihitung dulu?” ungkap Dradjad.

Sekarang, kata Dradjad, muncul tuntutan agar Presiden memecat Mendag. Tuntutan ini, menurutnya, wajar. Alasannya, Mendag memang ikut bertanggungjawab. Tapi jika hanya Mendag yang disalahkan, itu tidak fair. Karena, bukan hanya dia yang harus bertanggungjawab terhadap kisruh beras ini. Menko Perekonomian, Menteri Pertanian, Kepala Bulog dan Kepala BPS semuanya juga harus dicopot.

Menurut Dradjad, kegaduhan ini jelas bersumber dari mis-manajemen para pembantu Presiden tersebut. Mereka salah hitung produksi, salah hitung impor, salah hitung kapasitas gudang. "Setelah itu, mereka ribut lagi di media,” kata pakar ekonomi INDEF ini.

Apakah kisruh beras ini ulah spekulan di pasar?. Menurut Dradjad, hal itu tidak masuk akal. Dikatakannya, seperti yang pernah dia tulis di bulan Januari 2018, jika benar ada surplus hingga 24,5 juta ton, berarti harus tersedia uang Rp 16 triliun-Rp 20 triliun untuk ramai-ramai berspekulasi beras. Jika ada 1.000 spekulan, mereka harus menjudikan uang Rp 16 miliar-Rp 20 miliar per spekulan. "Sangat tidak logis. Belum lagi risiko ditangkap polisi,” kata Dradjad.

Yang jelas, menurut Dradjad, impor beras memang pulen. Untuk beras eks Vietnam, dalam bulan Januari 2018 itu marginnya bisa Rp 3-5 juta per ton, setelah dipotong semua biaya. Jika impor 2 juta ton, berarti ada marjin Rp 6-10 triliun. "Apa ini penyebabnya? Silakan dipikirkan sendiri,” ungkapnya.

Masalah beras terus-menerus menjadi salah satu titik lemah Presiden Jokowi. Kata Dradjad, hal ini tentu akan menjadi salah satu isu strategis dalam kampanye pilpres. Ini karena beras adalah komoditi yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement