REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris mengungkapkan alasan yang paling berpengaruh sulitnya mengatasi defisit di pihaknya. Hal tersebut adalah iuran yang dinilai kurang tinggi.
"Ada posisi bahwa iuran itu underprice (terlalu rendah), kalau kita bicara dalam konteks jangka panjang," kata Fahmi dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, di Kompleks Senayan, Senin (17/9).
Ia memberikan data premi yang minus pada masyarakat pengguna BPJS Kesehatan setiap bulannya. Bahkan, jumlah minus tersebut mengalami penambahan dari tahun 2016 sampai 2017.
Pada 2016, biaya per orang setiap bulannya mencapai Rp 35.802, padahal premi per orangnya hanya Rp 33.776. Sementara itu, pada 2017, per orang biayanya mencapai Rp 39.744, tetapi premi per orang sebesar Rp 34.119. Artinya, pada 2016 ada selisih Rp 2.026 dan pada 2017 Rp 5.625.
"Semakin bertambah peserta, namun iurannya jaraknya tidak teratasi, maka biaya akan meningkat. Jadi, ada masalah yang lebih serius ke depan dengan iuran ini, defisit akan semakin hebat," ujar Fahmi menegaskan.
Ia juga menyatakan, defisit ini masih belum mencapai puncaknya dan bisa saja bertambah. Hal ini disebabkan, menurut dia, pemanfaatan program BPJS Kesehatan belum mengalami maturitas sebagaimana program lainnya yang berjalan lama.
"Ini juga harus diperhatikan sungguh-sungguh dalam jangka panjang," kata dia.