Senin 17 Sep 2018 13:18 WIB

Masa Depan Paralel Rupiah

Banyak faktor penyebab pelemahan rupiah atas dolar AS.

 Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS
Foto: Republika On Line/Mardiah diah
Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Fithra Faisal Hastiadi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Ribuan tahun lalu, jauh sebelum tahun Masehi, seorang sastrawan terkemuka Romawi, Quintus Horatius Flaccus (Horace), mengemas sebuah lirik latin dalam salah satu karyanya yang monumental, "Odes".

Dalam teks "Odes", terkandung satu lirik yang tak kalah terkenalnya, “carpe diem, quam minimum credula postero” yang jika diartikan secara lepas, sebagai usaha menangkap hari ini tanpa terlalu rumit memikirkan hari esok.

Menariknya, silogisme abduktif ini juga kita temukan pada ungkapan ekonom masyhur asal Inggris, John Maynard Keynes, “in the long run we are all dead”. Jika benar begitu, patutkah kita khawatir pada ramalan Nouriel Roubini yang menduga ada krisis besar pada 2020?

Jika ada ekonom yang bisa dipercaya atas prediksi-prediksinya, saya akan selalu menunjuk satu nama, Roubini! Roubini memang bukan Nostradamus yang dalam les propeties seakan menunjukkan keahlian cenayangnya meramal akhir dunia.

Roubini “hanya” ekonom yang kebetulan prediksi krisisnya hampir selalu akurat. Benang merah dari kedua pandangan yang oxymoronic ini, menariknya ada pada sebuah petuah fiksional dari Dr Emmet Brown.

Ia ilmuwan gila dalam film blockbuster “Back to the Future” yang mengingatkan Marty Mcfly agar tidak melakukan intervensi apa pun pada masa lalu karena bisa mengubah jalur masa depan. Untuk menjinakkan rupiah, justru inilah yang harus dilakukan.

Kita harus melakukan intervensi terukur dalam jangka pendek dan menengah sehingga ramalan Roubini bisa kita hindari. Roubini lebih banyak menunjuk hidung Presiden AS Donald Trump sebagai salah satu penyebab krisis pada 2020.

Adanya fenomena stagflasi, resesi akibat perang dagang dan juga gelombang proteksi berlebihan akan menyulut api krisis tersebut. Indonesia tentu hanya menjadi objek penderita, tak banyak yang bisa dilakukan, tetapi bukan berarti tidak ada peluang berkelit.

Meminjam istilah Andrew Grove, yang kita butuhkan inflection point. Roubini boleh jadi benar, di AS setidaknya akan ada 6,5 juta tenaga kerja terdampak pengenaan tarif berlebihan pada komponen input produksi.

Mereka rentan kehilangan pekerjaannya akibat naiknya ongkos produksi industri terkait (infrastruktur dan manufaktur). Jadi, alih-alih meningkatkan kesejahteraan dengan naiknya terms of trade, Trump justru menggali kuburnya sendiri.

Lebih lanjut, ulah Trump tentu diganjar retaliasi (perang dagang) mitra dagangnya. Ini konsekuensi logis strategi tit for tat yang akan memicu efek domino secara global. Korban paling signifikan negara Asia, terutama emerging markets (EM).

Mereka selama ini mengandalkan perdagangan internasional. Selama beberapa tahun terakhir, Asia merupakan mesin pendorong pertumbuhan ekonomi dunia yang jelas akan tertahan dengan adanya perang tarif ini.

Perhitungan saya berdasarkan data runtun waktu, setidaknya ada koreksi sebesar 0,5 hingga 0,8 persen dari pertumbuhan ekonomi dunia akibat perang tarif. Lantas apa jadinya rupiah?

Melihat data Impuls Response Function (IRF), tekanan dari sesama EM dan juga kebijakan AS jelas terefleksi pada volatilitas rupiah. Namun, efeknya tidak lama. Justru, tekanan dari neraca akun semasalah yang memberikan efek kelembaman lebih besar.

Temuan ini diperkuat tes Forbes Riggobon oleh Handika (2018) yang menyatakan, tidak ada hubungan contagion EM dan AS pada rupiah. Sebagai tambahan, hasil dekomposisi variabel menunjukkan, sebenarnya yang membawa rupiah tertekan cukup dalam pada jangka pendek lebih ke faktor ekspektasi liar, bukan semata-mata faktor fundamental.

Meski perlu diakui, efek guncangan dari neraca akun semasa memberikan kelembaman cukup besar pada depresiasi rupiah. Namun, ini bersifat pemantik, yang lebih banyak berperan adalah kepanikan dan spekulasi.

Jika tidak segera dibenahi, depresiasi rupiah alih-alih memberikan dampak positif, justru berpeluang membuat pertumbuhan ekonomi tahun ini turun. Model kami memprediksi ekonomi tumbuh 5,08 persen dan 4,9 persen pada kuartal III dan IV tahun ini.

Angka itu lebih rendah dibandingkan kuartal II. Lebih lanjut, dengan faktor ekspektasi juga lebih banyak dipantik data neraca akun semasa, maka permasalahan ini perlu segara diselesaikan.

Melihat nasib rupiah sekarang, tentu tak lepas dari kelalaian membangun infrastruktur penopang industri serta peningkatan kualitas tenaga kerja. Permasalahan deindustrialisasi yang persisten hampir selalu membayangi volatilitas rupiah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement