Sabtu 15 Sep 2018 17:17 WIB

Syamsuddin Haris: Putusan MA Abaikan Keadilan Masyarakat

Masyarakat tetap memiliki hak untuk memilih caleg yang baik.

Rep: Inas Widyanuratikah / Red: Ratna Puspita
Peneliti dari LIPI Syamsuddin Haris
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Peneliti dari LIPI Syamsuddin Haris

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang memperbolehkan mantan narapidana korupsi menyalonkan diri menjadi anggota legislatif. Menurut Haris, MA mengabaikan rasa keadilan masyarakat. 

Ia mengatakan, MA memang memiliki acuan, yakni Undang-Undang Pemilu, untuk menguji semua peraturan di bawah Undang-undang. Namun, ia mengatakan, masyarakat tetap memiliki hak untuk memilih caleg yang baik. 

“Bagaimanapun publik berhak mendapatkan caleg yang baik, yang, bersih, yang berintegritas," kata Syamsuddin saat ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (15/9). 

Selanjutnya secara hukum, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menaati putusan MA. PKPU soal larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg harus dibatalkan sehingga dapat berimbas mantan eks napi kasus tersebut bisa mendaftarkan diri menjadi caleg. 

Kendati demikian, ia mengatakan, KPU tetap dapat mengimbau masyarakat untuk tidak memilih caleg yang bermasalah. Selain itu, masyarakat juga harus mengenali para caleg sehingga dapat memutuskan pilihan mereka nantinya pada Pemilu 2019. 

Menurut Syamsuddin  masyarakat sipil masih memiliki kekuatan untuk tidak memilih mantan koruptor menjadi anggota legislatif. "Saya kira yang bisa dilakukan adalah oleh civil society, supaya tidak memilih caleg bermasalah. Semuanya kembali kepada masyarakat pemilih," kata dia. 

Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina larangan yang terdapat pada PKPU dapat dimasukkan ke dalam undang-undang. “Ini untuk membuktikan bahwa memang ada semangat antikorupsi yang disebut-sebut itu," kata dia.

Almas mengatakan dirinya menghormati keputusan MA. Ia menjelaskan, kewenangan MA hanyalah menguji apakah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 20 dan 26 tahun 2018 sesuai dengan Undang-Undang. 

"Karena dianggap bertentangan, kemudian larangan ini dibatalkan sehingga seharusnya tidak masalah juga apabila larangan ini dimasukkan di Undang-Undang Pemilu," kata dia melanjutkan.

Pada Jumat (14/9) malam, Juru Bicara MA Suhadi membenarkan majelis hakim Mahkamah Agung telah memutuskan mengabulkan gugatan uji materi tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. MA menegaskan jika aturan yang ada dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 itu bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Sudah diputus kemarin (Kamis, 13 September). Permohonannya dikabulkan dan dikembalikan kepada Undang-undang (UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017)," ujar Suhadi ketika dihubungi wartawan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement