REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umun (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan akan mempertimbangkan pemberian tanda kepada mantan narapidana korupsi yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2019. KPU menegaskan tidak merasa kecewa dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang memperbolehkan eks koruptor menjadi caleg.
"Nanti dipertimbangkan akan ditandai dalam surat suara (mantan narapidana korupsi yang menjadi caleg, Red). Hal tersebut sebagaimana usulan Pak Jusuf Kalla yang dulu pernah disampaikan," ujar Pramono kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/9) malam.
Pertimbangan ini merupakan salah satu terobosan KPU terkait mantan narapidana korupsi yang mendaftar sebagai caleg. Pasalnya, MA pada Kamis (13/9) sudah memutuskan mengabulkan gugatan uji materi tentang aturan yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg.
Mengenai putusan MA tersebut, Pramono mengungkapkan pihaknya tidak merasa kecewa. Meski putusan MA sudah ada, menurutnya KPU belum menerima salinan putusan itu. Karenanya, KPU masih akan mempelajari terlebih dulu setelah salinan putusan MA tersebut diterima. "Kami tunggu putusannya seperti apa. Saat ini masih belum bisa melakukan tindakan kalau belum mendapatkan putusannya," tambahnya.
Pada Jumat (14/9) malam, Juru Bicara MA, Suhadi, membenarkan jika pihaknya telah memutuskan mengabulkan gugatan uji materi tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. MA menegaskan jika aturan yang ada dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 itu bertentangan dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
"Sudah diputus kemarin (Kamis, 13 September). Permohonannya dikabulkan dan dikembalikan kepada Undang-undang (UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017)," ujar Suhadi ketika dihubungi wartawan.
Dengan demikian, maka aturan tentang pendaftaran caleg dikembalikan sesuai dengan yang ada dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dalam aturan UU itu, larangan eks koruptor menjadi caleg tidak disebutkan secara eksplisit.
Suhadi kemudian menjelaskan tentang pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan MA. Pertama, MA memandang jika kedua PKPU bertentangan dengan aturan di atasnya, yakni UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, tepatnya pasal 240 ayat (1) huruf g. Pasal tersebut menyebutkan 'bakal calon DPR dan DPRD harus memenuhi persyaratan: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana'.
"Selain itu, mantan narapidana kasus korupsi boleh mendaftar sebagai caleg asal sesuai ketentuan undang-undang pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," tegas Suhadi.
Secara rinci, larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tertuang dalam pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Pasal itu berbunyi 'dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (partai politik) tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.
Sementara itu, larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota DPD tertuang dalam pasal 60 huruf (j) PKPU Nomor 26 Tahun 2018. Pasal tersebut menyatakan, 'perseorangan peserta pemilu dapat menjadi bakal calon perseorangan peserta pemilu anggota DPD setelah memenuhi syarat bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi'.
Sejak Juli lalu, kedua aturan ini sama-sama digugat oleh sejumlah pihak melalui permohonan uji materi ke MA. Mayoritas penggugat adalah para eks koruptor yang berniat kembali maju sebagai calon anggota dewan dan dirugikan dengan adanya kedua aturan ini.