REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh mengapresiasi keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membolehkan mantan narapidana koruptor maju sebagai calon anggota legislatif. Keputusan itu keluar setelah MA membatalkan pasal dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
"Alhamdulillah, Mahkamah Agung telah melakukan pengujian dan membatalkan PKPU yang membatasi hak mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif. Putusan MA tersebut membuktikan bahwa hukum masih ada di negara ini," kata Puteh melalui pengacaranya Zulfikar Sawang dalam pesan singkatnya, Jumat (14/9).
Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh merupakan salah satu mantan terpidana kasus korupsi yang terganjal akibat Peraturan KPU tersebut. Puteh yang maju mencalonkan diri untuk posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Aceh dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat, sehingga namanya dicoret dari daftar calon anggota DPD sementara.
Puteh mengajukan sengketa ke Panwaslih Aceh (Bawaslu setempat), dan memenangkan kasus itu, sehingga ia menjadi memenuhi syarat. Namun, KPU tetap menunda keputusan Panwaslih tersebut, sembari menunggu uji materi terkait pasal yang menghambat mantan napi koruptor menjadi caleg.
Mahkamah Agung telah memutuskan untuk menerima gugatan uji materi untuk membatalkan pasal 4 ayat 3 dan pasal 7 huruf g PKPU Nomor 20/2018 tentan Pencalonan Anggota DPR/DPRD yang melarang para mantan napi kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif serta membatalkan pasal 60 huruf j Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi.
Keputusan tersebut, menurut Juru Bicara MA Suhadi, diambil pada Kamis 13 September 2019. Keputusan tersebut, menurut Suhadi, mengacu pada UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang memperbolehkan mantan narapidana menjadi calon anggota legislatif selama menginformasikan kepada khalayak pernah menjadi terpidana.
Selain itu, juga putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan mantan narapidana korupsi maju dalam pemilu.