Jumat 14 Sep 2018 08:52 WIB

Jurus Tiga Otoritas Ekonomi Hadapi Pelemahan Rupiah

Sejak Mei 2018, suku bunga acuan BI sudah dinaikkan dan trennya tetap naik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri) bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kedua kanan), Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara (kiri) dan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/9).
Foto:
Petugas menata tumpukan uang rupiah di Cash Center Bank Mandiri,Jakarta, Senin (23/7).

Selain itu, rencana Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB), yang akan menaikkan suku bunga acuannya pada 2019 mendatang, juga tidak akan banyak berpengaruh terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Terkait sinyal dari ECB kapan akan kurangi likuiditasnya, pasar perkirakan Eropa mulai naikkan suku bunga pada semester kedua 2019," ujar Mirza.

Meski begitu, kata dia, berdasarkan pengalaman, kenaikan suku bunga AS lebih berpengaruh terhadap negara berkembang dibandingkan kebijakan ECB. Melihat hal tersebut, kenaikan suku bunga AS dari 2 persen ke 3,25 diharapkan lebih terkontrol.

Kementerian Keuangan menyebutkan, sejumlah masa krusial yang harus diperhatikan atas nilai tukar rupiah saat ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, ada dua faktor utama yang diperhatikan pemerintah dalam menentukan asumsi kurs 2019. Kedua faktor tersebut adalah perang dagang dan kenaikan suku bunga bank sentral AS.

Dia mengatakan, salah satu deputi FOMC (Federal Open Market Committee) telah mengutarakan kenaikan suku bunga the Fed sebanyak dua kali pada tahun depan. "Ini realitas yang perlu kita kelola bersama-sama," kata Sri.

Sri menjelaskan, dampak perang dagang yang terjadi di dunia sebenarnya tidak memiliki efek besar terhadap perekonomian Indonesia. Akan tetapi, perang dagang dapat berefek pada sisi psikologis para manajer investasi terhadap negara berkembang sehingga arus modal masuk dapat terganggu.

Menurut dia, arus modal masuk untuk portofolio merupakan komponen yang cukup penting. Apalagi, kepemilikan surat utang negara (SUN) oleh asing nonresiden mencapai 39 persen.

Intinya, kata Sri, pemerintah tidak hanya akan mengantisipasi faktor permintaan dan penawaran dolar AS terhadap rupiah, tetapi juga aspek psikologis. "Kami bersama BI dan OJK akan terus melakukan optimalisasi bauran kebijakan," ujar Sri.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menegaskan, perbankan dalam negeri siap menghadapi gejolak perekonomian dunia. Pasalnya, hampir seluruh bank di Tanah Air sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit valuta asing (valas).

Baca Juga: Sri Mulyani Akui Pertumbuhan Ekonomi Bisa Meleset

Setelah krisis 1998, perbankan Indonesia berada dalam kondisi sehat. Dia mengatakan, perbankan Indonesia cenderung bermain di dalam negeri. "Mereka lebih banyak salurkan kredit dalam mata uang rupiah," ujar Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah.

Ia menyebutkan, rata-rata bank hanya menyalurkan kredit valas sekitar 14 persen dari total kreditnya. Dengan begitu, perbankan sangat konservatif dalam memberikan kredit valas. Maka, dia menegaskan, kondisi perekonomian dunia tidak banyak memengaruhi kondisi perbankan Indonesia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement