REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Pertarungan besar-besaran di Idlib sudah dimulai. Pertempuran ini akan menjadi pertaruhan besar bagi Suriah, apakah mereka berhasil menguasai basis utama terakhir kelompok oposisi atau tidak.
Kemenangan atas Idlib akan memberikan legitimasi kuat bagi rezim Presiden Bashar al-Assad melanjutkan pemerintahannya. Turki diyakini tak akan tinggal diam membiarkan Idlib diserang habis-habisan.
Pada Ahad (9/9), pasukan Pemerintah Suriah dan Rusia menggempur wilayah selatan Idlib. Serangan udara dan pengeboman menyebabkan sedikitnya lima orang tewas. Serangan mengincar desa-desa di selatan Idlib dan provinsi Hama utara.
“Seorang bayi dan seorang anak kecil tewas di desa Habeit di selatan Idlib dalam serangan bom barel,” kata White Helmets, kelompok pertahanan sipil yang beroperasi di wilayah yang dikuasai pemberontak, dikutip laman Aljazirah.
Kemudian tiga korban lainnya adalah anggota kelompok pemberontak. Satu di antaranya dilaporkan seorang perwira. Anggota White Helmets Abd al-Karim al-Rahmoun mengatakan sekitar setengah dari populasi penduduk di Hama utara telah mengungsi guna menghindari pengeboman oleh pasukan Suriah dan Rusia.
Sementara itu kelompok pemantau Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) mengatakan, selama 72 jam terakhir, pasukan Suriah dan Rusia telah melakukan 1.060 kali serangan udara ke Idlib.
“Sebagai tanggapan, al-Jabha al-Wataniya lil-Tahrir (NLF), kelompok oposisi bersenjata utama, pada Ahad, menembaki posisi pasukan pemerintah (Suriah) di Hama utara,” ungkap SOHR.
Kemudian konvoi lain kendaraan militer Turki menyeberang ke Idlib pada Ahad. Selama 10 hari terakhir, sejumlah konvoi serupa, yang membawa senjata dan mobil lapis baja, telah memasuki Suriah utara guna memperkuat 12 titik atau pos pengamatan yang diawaki oleh tentara Turki.
Pos-pos itu, yang terletak di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak di Aleppo barat, Provinsi Hama, dan Idlib utara, didirikan di bawah perjanjian deeskalasi yang dicapai Turki, Iran, dan Rusia. Seruan Turki agar dilaksanakan gencatan senjata di Idlib telah ditolak Suriah dan Rusia pada Jumat pekan lalu.
Menteri Dalam Negeri Turki Suleyman Soyli memperingatkan tentang kemungkinan terjadinya gelombang pengungsi jika serangan militer besar-besaran dilancarkan ke Idlib. “Kami peduli pada kemanusiaan dan kami tidak akan menyerah. Kami tidak akan bertanggung jawab atas gelombang migrasi jika ada kemungkinan serangan (di Idlib), ujarnya.
Idlib merupakan wilayah yang hendak direbut kembali oleh Suriah dengan bantuan sekutunya, yakni Rusia dan Iran. Saat ini Idlib masih dikuasai milisi pemberontak yang menentang pemerintahan Bashar al-Assad.
PBB telah memperingatkan, serangan ke Idlib, yang dihuni 2,9 juta orang, berpotensi menciptakan keadaan darurat kemanusiaan dalam skala yang belum terlihat sebelumnya. Jumlah warga Idlib yang membutuhkan bantuan, yang saat ini sudah cukup tinggi, akan melonjak tajam. Sementara itu, 800 ribu orang diperkirakan dapat mengungsi bila serangan besar-besaran terjadi di sana.
Keterlibatan AS
Pemerintah Amerika Serikat sepertinya tak akan tinggal diam. AS yang selama ini mendukung kelompok oposisi kembali memainkan isu senjata kimia.
Washington mengatakan, terdapat cukup banyak bukti yang menunjukkan Suriah sedang mempersiapkan senjata kimia untuk menyerang Idlib. AS menyatakan, akan segera merespons dan bertindak bila serangan senjata kimia terjadi di Idlib.
“Saya sangat yakin bahwa kita memiliki alasan yang sangat-sangat baik untuk membuat peringatan ini (serangan senjata kimia). Ada banyak bukti bahwa senjata kimia sedang dipersiapkan,” kata penasihat khusus Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo untuk urusan Suriah, Jim Jeffrey.
Baca juga, AS Serang Suriah, 59 Misil Ditembakkan.
Sebelumnya, AS di bawah Presiden Donald Trump pernah melancarkan rudal ke Suriah menyusul penggunaan senjata kimia. Militer AS meluncurkan 59 misil penjelajah ke pangkalan udara militer Suriah pada April 2017.