Ahad 09 Sep 2018 22:54 WIB

Perbandingan Krisis 1998 dan Pelemahan Rupiah Saat Ini

Fundamental ekonomi Indonesia dinilai masih bagus.

Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa (4/9). Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS melemah menjadi Rp14.940 per dolar AS pada perdagangan hari ini.
Foto: Rivan Awal Lingga/Antara
Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa (4/9). Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS melemah menjadi Rp14.940 per dolar AS pada perdagangan hari ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan atau tren nilai tukar rupiah yang cenderung mengalami depresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat kekhawatiran pelaku pasar keuangan di Indonesia.

Tren depresiasi mata uang berlambang Garuda itu dianggap sejumlah pihak menjadi sinyal dari krisis ekonomi seperti pada 1998 silam. Pekan lalu, mata uang rupiah hampir menyentuh level psikologis ke level Rp 15 ribu per dolar AS.

Namun, seperti dikutip kantor berita Antara, situasi tahun ini sebenarnya berbeda dengan saat krisis pada 1998 lalu. Salah satunya dapat dilihat dari fluktuasi kurs rupiah, cadangan devisa Indonesia, dan peringkat utang Indonesia.

Berdasarkan data yang diolah Antara, pada September 1997 kurs rupiah berada di posisi Rp 3.030 per dolar AS. Dalam waktu setahun, rupiah jatuh 254 persen menjadi Rp10.725 per dolar AS pada September 1998.

Baca Juga

Sementara saat ini, pada September 2017 posisi rupiah di level Rp1 3.345 per dolar AS. Setahun kemudian rupiah hanya melemah 11 persen menjadi Rp14.815 per dolar AS. Adapun jika rupiah tertekan seperti 1998 lalu, maka kurs rupiah menjadi Rp 47.241 per dolar AS.

Di sisi lain, besaran cadangan devisa juga berbeda. Pada 1998 cadangan devisa sekitar 23,61 miliar dolar AS. Sedangkan pada akhir Agustus 2018 ini sebesar 117,9 miliar dolar AS.

Hal berbeda juga dapat dilihat dari peringkat surat utang pemerintah, pada 1998 peringkat utang Indonesia masuk dalam kategori junk. Sementara pada 2018 ini berada di tingkat investment grade atau layak investasi.

photo
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menguatkan kembali nilai tukar rupiah. Masyarakat pun dapat berkontribusi menolong rupiah.

Director Investment Strategy Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menilai bahwa Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang lebih bagus dibandingkan situasi 1998 lalu.

Ini mengingat likuiditas pasar saat ini cukup bagus. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana buat menjalankan transaksi bisnis, serta kesempatan investasi masih cukup menarik. "Krisis 1998 ditandai dengan kekeringan likuiditas. Sementara likuiditas saat ini cukup baik," ujarnya.

Budi Hikmat juga mengatakan, kebijakan makro ekonomi yang dikeluarkan pemerintah tahun ini juga bagus untuk mendukung stabilitas rupiah. Salah satunya dengan menahan barang impor agar dapat mengurangi beban defisit neraca transaksi berjalan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pemerintah menerapkan kebijakan pengendalian impor barang konsumsi melalui penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) impor terhadap 1.147 pos tarif sebagai strategi mengatasi defisit neraca transaksi berjalan.

Ia menjelaskan, sebanyak 1.147 komoditas yang disesuaikan tarif PPh impornya tercatat memiliki nilai impor 6,6 miliar dolar AS pada 2017. "Kami berharap masyarakat memahami bahwa pemerintah di satu sisi ingin cepat dan di sisi lain selektif karena situasinya tidak biasa, dan kami lakukan tindakan yang dalam situasi biasa tidak dilakukan," ujar Sri Mulyani .

New normal

Menurut Budi Hikmat, pergerakan nilai tukar rupiah saat ini lebih dipengaruhi oleh fenomena new normal. Fenomena itu mengacu kepada berakhirnya era suku bunga rendah di negara maju, seperti Amerika Serikat yang akhirnya mendorong penguatan dolar AS. "Yang kemudian terjadi adalah rotasi investasi antaraset dan antarregional menuju negara maju," katanya.

Chief Market Strategist FXTM, Hussein Sayed menilai apabila Bank Sentral AS atau The Fed tidak memperlambat laju pengetatan kebijakan moneternya maka pasar keuangan di negara berkembang dapat memburuk. "Ketegangan perang dagang Amerika Serikat dengan Cina yang belum ada pertanda akan segera berakhir juga mengganggu pasar mata uang berkembang," katanya.

Menurut dia, reaksi yang dapat dilakukan pemerintah adalah menerapkan tindakan penghematan meski dapat menahan laju ekonomi. Tidak hanya rupiah, sentimen negatif global juga berdampak negatif terhadap pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) meski sifatnya relatif sementara, mengingat sebagian investor sudah mulai masuk ke pasar.

"Setelah tertekan, secara otomatis akan ada valuasi dimana harga akan menarik bagi investor," ujar Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo.

Ia mengatakan dengan fundamental ekonomi makro dan moneter Indonesia yang terjaga maka investor akan kembali untuk melakukan akumulasi beli saham. "Kita sudah menjelaskan kondisi ekonomi ke pelaku pasar, baik investor asing maupun domestik bahwa secara fundamental Indonesia bagus," katanya.

Di tengah maraknya sentimen negatif global, pihak BEI mengaku sudah menyiapkan antisipasi agar investor tidak panik. Namun, hingga saat ini kebijakan itu belum dikeluarkan karena fluktuasi IHSG dinilai masih wajar. "Regulator memiliki protokol krisis, penurunan sempat 4,8 persen kita siap-siap, karena perlu diwaspadai namun belum tentu pencet tombol krisis protokol. Dan kenyataannya market Jumat (7/9) positif," katanya.

Partisipasi masyarakat

Dalam rangka menahan tekanan rupiah lebih dalam, Budi Hikmat mengharapkan masyarakat agar juga turut berpartisipasi yang salah satunya adalah dengan membeli produk dalam negeri, menahan membeli produk elektronik yang tidak perlu, dan menunda perjalanan ke luar negeri. "Anak milenial lebih banyak plesiran ke luar negeri dan pakai gadget impor. Jadi masyarakat juga harus memperbaiki konsumsinya juga," katanya.

Selain itu, penggunaan transportasi publik juga dinilai kalangan ekonom dapat memberikan sumbangan/kontribusi terhadap stabilitas rupiah. Dengan menggunakan transportasi publik maka akan mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sehingga dapat mengurangi defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor migas.

Fundamental lemah

Namun ekonom senior yang juga Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Prof Anwar Nasution memiliki pandangan berbeda. Ia menegaskan, anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar karena fundamental ekonomi Indonesia lemah sekali. Bukan karena faktor global atas menguatnya mata uang Paman Sam.

"Fundamental ekonomi Indonesia itu lemah sekali, omong kosong itu kalau pemerintah bilang ekonomi Indonesia kuat," jelas dia dalam sebuah diskusi di Gado-Gado Boplo Menteng, Jakarta, Sabtu (8/9).

Dia menjabarkan ada beberapa faktor yang menyebabkan anjloknya nilai tukar rupiah. Pertama, yaitu dilihat dari rasio pajak Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) rendah sekali, hanya 10 persen. Berbeda dengan negara berkembang lain yang mencapai 20 persen.

Selain itu menurut dia, anjloknya nilai tukar rupiah juga disebabkan karena pemerintah terlalu banyak mengimpor produk ketimbang ekspor. "Jadi apa yang merdekanya negara kita? Ngutang mulu, sehingga sangat rawan terhadap gejolak seperti yang sekarang ini. Semua impor, kedelai saja impor. Itu yang jadi persoalan, maka sangat rawan," tegas Anwar.

Selain itu, dia melanjutkan, lembaga keuangan di Indonesia juga masih sangat lemah. Hal itu bisa dilihat dari eksistensi bank-bank milik BUMN yang cenderung kalah oleh eksistensi bank-bank luar seperti Maybank dan lain-lain. "Empat bank negara semuanya itu 'kampungan', enggak bisa lawan Maybank," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement