Sabtu 08 Sep 2018 22:20 WIB

Yusril: Jokowi tak Perlu Berhenti atau Cuti Selama Nyapres

Ketentuan mengundurkan diri tidak berlaku bagi presiden yang mencalonkan kembali.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Ratna Puspita
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra tiba di Hotel Menara Peninsula Jakarta untuk menghadiri Ijtima' Ulama GNPF, Jumat (27/7).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra tiba di Hotel Menara Peninsula Jakarta untuk menghadiri Ijtima' Ulama GNPF, Jumat (27/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai Presiden Joko Widodo yang mencalonkan kembali tidak memiliki kewajiban untuk cuti atau mengundurkan diri. Sebab, menurut dia, pengaturan tentang keharusan mundur atau cuti itu tidak ada di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya dalam bab yang mengatur pencalonan presiden dan wakil presiden.

"Hal ini tidak saja berlaku bagi Presiden Jokowi, tetapi juga bagi siapa saja yang menjadi Presiden pejawat di negara kita," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (8/9).

Ia menjelaskan, Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden memang mengatur pengunduran diri pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon presiden. Namun, ia mengatakan, ketentuan itu tidak berlaku bagi presiden yang mencalonkan kembali.

Di media sosial, beredar salinan Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2018 dengan disertai pernyataan: “Jokowi Sudah Sah Bukan Presiden Indonesia dan Harus Mundur Sekarang Juga”. Padahal, menurut mantan sekretaris negara era Gus Dur ini, UU Nomor 42 Tahun 2008 itu sudah dicabut.

Artinya, aturan itu dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berlaku sejak 16 Agustus 2017. Karena itu, Yusril, menegaskan tidak adanya ketentuan presiden dan wakil presiden pejawat untuk berhenti atau cuti merupakan aturan yang benar dilihat dari sudut hukum tata negara.

“Sebab, jika diatur demikian akan terjadi kerumitan yang membawa implikasi kepada stabilitas politik dan pemerintahan di negara ini,” kata dia. 

Dia mencontohkan jika capres pejawat berhenti sebelum masa jabatannya berakhir maka presiden wajib digantikan oleh wakil presiden sampai akhir masa jabatannya. Untuk itu, perlu Sidang Istimewa MPR untuk melantik wapres menjadi presiden.

"Bagaimana jika wapres sama-sama menjadi pejawat bersama dengan Presiden, atau Wapres maju sebagai capres, maka keduanya harus berhenti secara bersamaan,” kata Yusril.

Kalau ini terjadi, maka menhan, mendagri, dan menlu (triumvirat) akan membentuk Presidium Pemerintahan Sementara. Dalam waktu 30 hari, triumvirat wajib mempersiapkan SI MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

"Kalau hal seperti di atas terjadi setiap lima tahun, maka bukan mustahil akan terjadi kerawanan politik di negara kita ini,” kata dia.

Kerawanan itu bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Negara itu tidak boleh vakum kepemimpinan karena bisa menimbulkan keadaan kritis yang sulit diatasi.

Ia menyebut seumpama jabatan Presiden vakum, terjadi keadaan darurat atau keadaan bahaya. "Siapa yang berwenang menyatakan negara dalam keadaan bahaya? Hanya Presiden yang bisa melakukan itu. Wakil Presiden apalagi Triumvirat, tidak punya kewenangan melakukannya,” kata Yusril.

Karena itu, Yusril berpendapat presiden yang juga menjadi pejawat, baik Jokowi atau siapapun, demi kepentingan bangsa dan negara tidak perlu berhenti atau cuti. Ia menambahkan meme yang mengutip sepotong UU Nomor 42 Tahun 2008 yang sudah tidak berlaku lagi itu sebagai informasi menyesatkan.

“Sangat berbahaya, khususnya dalam menyongsong Pemilu serentak tahun 2019 yang akan datang.” 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement