REPUBLIKA.CO.ID, SINGARAJA, BALI -- Balai Arkeologi Denpasar menemukan banyak benda peninggalan arkeologi pada 12 desa di Kecamatan Kubutambahan dan Tejakula, Kabupaten Buleleng (bagian timur), Bali.
"Dari 35 titik penelitian tersebar pada 12 desa di Kecamatan Kubutambahan dan Tejakula, kami temukan puluhan tinggalan sejarah, yang mengindikasikan adanya permukiman, pelabuhan kuno dan pusat pemujaan masa lalu," kata peneliti dari Balai Arkelogi Denpasar, Ida Ayu Gede Megasuari Indria, di Singaraja, Buleleng, Bali, Jumat (7/9).
Megasuari mengatakan penelitian di Buleleng bagian timur ini untuk mendata peninggalan arkeologi di Bali Utara, yang dinyatakan sangat berpotensi dalam penggalian nilai sejarah.
"Dalam penelitian, kami melakukan survei ke desa-desa yang dianggap memiliki potensi arkeologi, terkait bentang lahan wilayah Bali Utara," katanya.
Menurut dia, penelitian dilakukan sejak 20 Agustus dengan menyasar 12 desa di Kecamatan Kubutambahan dan Tejakula dan ditemukan sejumlah temuan arkeologi.
Temuan arkeologi itu antara lain menhir 12 buah, arca perwujudan 11 buah, arca ganesha (4), Sarkofagus (2), dolmen (1), mangkuk keramik (3), lingga yoni (2), arca sederhana (1), relief batu (2), dan batu dakon (1). "Kami juga menemukan bukti permukiman dua situs di dekat pura Sang Bingin Bondalem dan Situs Pura Pelisan Pacung, Kecamatan Tejakula," katanya.
Dari hasil pendataan, Buleleng memang diyakini memiliki tinggalan arkeologi dari masa prasejarah hingga masa kolonial. "Untuk penelitian yang dilakukan saat ini, kajiannya mengenai hubungan antara tinggalan budaya yang ada dengan kondisi alam Bali Utara," katanya.
Lokasi penelitian yang dipilih berdasarkan informasi data tekstual berupa prasasti di beberapa tempat adalah Desa Pakisan, Tajun, Kubutambahan, Bulian, Depaha, Bengkala (Kecamatan Kubutambahan) dan Desa Sembiran, Pacung, Julah, Bondalem, Les, Penuktukan dan Sambirenteng (Kecamatan Tejakula).
"Keadaan geografis dan data prasasti menyebutkan beberapa lokasi penelitian tampaknya cukup strategis, apabila dimanfaatkan sebagai hunian maupun pelabuhan dan pusat-pusat perdagangan sejak awal Masehi," ujarnya.
Senada dengan itu, Kepala Balar Denpasar, I Gusti Ngurah Suarbhawa, mengatakan dari hasil pendataan dan penelitian timnya, masyarakat setempat dapat belajar dari fakta strategi adaptasi manusia terhadap lingkungan setempat melalui tinggalan arkeologinya. "Seperti alasan-alasan penempatan tinggalan arkelogi ditinjau dari letak kelerengannya, permukiman, ritual-ritual dan sumber daya air yang tersedia," katanya.
Menurut Suarbhawa, alasan-alasan itu dapat dipakai model masyarakat dalam mencermati kearifan leluhur, sehingga eksploitasi alam dapat dilakukan dengan berpatokan dari temuan arkeologi yang ada.
"Kalau ditinjau dari geologisnya, Tejakula dan Kubutambahan memiliki karakter yang sama. Salah satunya ketersediaan sumber mata air yang jauh di bawah tanah, itu kenapa bisa terjadi, karena Bali Utara dulu sempat tertutup oleh material leturan Gunung Batur purba, yang menutupi sebagaian wilayah Buleleng," katanya.
Dari hasil penelitian itu, kata Suarbhawa, Balai Arkeologi Denpasar akan melakukan penelitian lanjutan untuk memperdalam dan memperluas sasaran aspek lainnya. "Dari evaluasi kami, potensi sangat besar lanskap arkeologi ruang, yang akan sangat membantu desa dan masyarakat memahami hal sekelilingnya. Potensi Bali Utara sangat menjanjikan," katanya.