REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Prof Edy Suandi Hamid, mengatakan menguatnya mata uang dolar Amerika Serikat (AS) yang hampir menembus Rp 15 ribu, menjadi kesempatan bagi Yogyakarta untuk mengembangkan pariwisata dengan produk yang unik.
‘’Dengan dolar menguat maka wisata lebih murah bagi orang asing. Sehingga Yogyakarta bisa mendatangkan turis lebih banyak, tinggal bagaimana menggarapnya,’’ ujarnya, di Kepatihan.
Ia mengusulkan sektor pariwisata di Yogyakarta harus memiliki road map. Sehingga apabila wisatawan datang ke Yogyakarta tidak bingung harus kemana saja.
‘’Sekarang wisatawan kalau datang ke Yogyakarta dua hari saja, mikir sendiri. Harusnya ada road map misalnya ke Tamansari, Keraton Yogyakarta, Borobudur, dan lain-lain. Selain itu juga tersedia fasilitas transportasi yang memadai,’’ kata mantan rektor UII Yogyakarta ini.
Penyebab menguatnya dolar, kata Edy, antara lain Presiden Trump yang membatasi ekspor dari negara lain yang membuat ekonomi negara besar menggejolak. Diungkapkan, ekonomi Indonesia juga tidak bsa lepas dari negara lain.
Sehingga dengan menguatnya dolar, ekonomi Indonesia ikut tergoncang, karena kini satu dolar dari Rp 13 ribu sekarang sudah mendekati 15 ribu. "Karena itu jangan dibilang ekonomi kita selalu fundamentalnya kuat. Kalau Indonesia kuat, maka tidak akan terpuruk ,’’ ujarnya.
Demikian pula situasi di Turki, Venezuela, hingga Yunani, papar dia, ikut memberikan pengaruh, sehingga muncul kekhawatirkan jangan-jangan situasi sekarang ini seperti pada 1998 yang saat itu Indonesia paling besar terimbas.
Namun sekarang ini, Edy menambahkan, situasinya agak berbeda akan tetapi faktor psikologis berpengaruh. Demikian pula, diakui, sekarang impor mesin dan barang setengah jadi meningkat banyak sekali. Sehingga neraca perdagangan semakin defisit.
"Ekspor barang lebih kecil daripada impor, dulu hanya jasa yang defisit. Sehingga kita butuh devisa cukup banyak,’’ ujarnya.
Dalam konteks ini, papar dia, DIY juga ikut terpengaruh terutama dengan adanya beberapa komoditas seperti tekstil dan bahan baku lainnya yang mengandung komponen impor.
"Akibatnya harganya jadi mahal. Ketika butuh bahan baku, harganya naik, sementara permintaan turun. Tentu saja hal ini menyebabkan mengurangi tenaga kerja dan angka pengangguran bisa menjadi tinggi," ujarnya.