Selasa 04 Sep 2018 19:53 WIB

Beli Freeport Saat Dolar Lagi Mahal

Pemerintah telah memperoleh pinjaman untuk membeli Freeport.

Rep: Intan Pratiwi/Antara/ Red: Teguh Firmansyah
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson menandatangni perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia disaksikan Menkeu Srri Mulyani (dari kanan) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson menandatangni perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia disaksikan Menkeu Srri Mulyani (dari kanan) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara, Inalum, mengaku telah mendapatkan pinjaman uang untuk pembelian saham PT Freeport. Sesuai dengan kesepakatan, Inalum akan mengeluarkan dana sebesar 3,85 miliar dolar AS untuk membeli hak partisipasi dari Rio Tinto di PTFI dan 100 persen saham FCX di PT Indocopper Investama, yang memiliki 9,36 persen saham di PTFI.

Penyelesaian perjanjian jual beli ini ditargetkan bisa selesai sebelum akhir 2018. Namun, proses jual beli ini dilakukan di tengah melemahnya rupiah terhadap dolar AS. Rupiah sudah mendekati level Rp 15 ribu per dolar AS.

Pemerintah berulangkali menegaskan, tak akan meminjam dana dari bank dalam negeri. Karena kalau memakai bank lokal akan merogoh simpanan dolar yang cukup besar. Hal ini tentu akan semakin membuat rupiah terperosok.

"Dari bank asing," Head Of Corporate Communications and Government Relations, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Rendi Witular, Selasa (4/9).

Rendi mengatakan, pinjaman yang diperoleh dari bank asing itu masih dalam proses simulasi dan perhitungan. Meski tak bisa merinci berapa kucuran dana yang diperoleh Inalum dari pinjaman, Rendi memastikan saat ini Inalum sudah mengantongi sejumlah dana untuk bisa menyelesaikan transaksi divestasi.

"Sudah dapat pinjaman, tapi kami belum bisa bilang berapa jumlahnya, karena masih dalam proses simulasi dan perhitungan," ujar Rendi saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (4/9).

Baca juga, Mengapa Pemerintah Hanya Kuasa 51 Persen Freeport.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengakui Inalum sudah sudah mengantongi sejumlah dana dari luar negeri untuk bisa membayar transaksi divestasi Freeport. "Sudah dapat pinjaman dari luar negeri," ujar Jonan di Istana, Selasa (4/9). Jonan juga tak merinci lebih jauh.

Secara hitungan, meski meminjam dari bank luar negeri, namun dengan kondisi rupiah yang sedang terpuruk saat ini boleh dibilang akan sangat berat.

Setidaknya pemerintah tetap harus membayar biaya admnistrasi atau ongkos lainnya sebagai syarat pinjaman dalam bentuk dolar AS.  Selain itu, biaya hedging (lindung nilai) dengan kondisi rupiah sedang melemah saat ini akan jauh lebih tinggi.

Menteri BUMN Rini Soemarno pernah mengatakan, perusahaan milik negara yang operasionalnya menggunakan valuta asing siap menggunakan fasilitas lindung nilai alam menghadapi kondisi nilai tukar rupiah yang kembali melemah terhadap dolar AS. Adapun produk-produk transaksi lindung nilai meliputi forward, swap, option, cross currency swap dan interest rate swap.

"Pada dasarnya kita ada instrumen hedging yang bisa digunakan antar-BUMN melalui fasilitas swap untuk membantu pengelolaan risiko keuangan," kata Rini Soemarno dalam kunjungan kerjanya di Jember dan Banyuwangi, Jawa Timur, Ahad (1/7).

Menurut Rini, dalam melakukan lindung nilai harus dilihat dari sisi BUMN yang melakukan ekspor maupun impor karena memang membutuhkan dan menerima devisa dalam bentuk valuta asing.

Pemerintah sendiri tetap yakin pembelian PT Freeport ini sudah benar. Karena ke depan Indonesia akan mendapatkan penghasilan cukup besar dari pembelian tambang emas ini. Pendapatan pajak akan terdongkrak karena pemerintah bisa mengetahui seberapa secara persis besar potensi dari Freeport.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, upaya Pemerintah untuk dapat memiliki 51 persen saham Freeport Indonesia merupakan langkah berkelanjutan untuk dapat menguasai keseluruhan saham di proyek pertambangan Bumi Cenderawasih itu. Namun, Indonesia masih membutuhkan PT Freeport McMoran karena terkait ahli teknologi.

Sejumlah analis tetap mempertanyakan apakah biaya itu sepadan dengan jumlah mineral atau emas yang akan dihasilkan ke depan. Ini mengingat PT Freeport sudah mengeruk tambang di Papua itu selama setengah abad. Jika harus menggali di bagian dalam akan memakan biaya lebih besar. 

Direktur Utama PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Budi Gunadi Sadikin pernah mengaku selama tiga tahun mendatang, paling tidak hingga 2021, produksi tambang Freeport di Grasberg akan turun.

Budi menjelaskan penurunan produksi ini disebabkan saat ini Freeport Indonesia menambah bagian open pit. Open pit yang selama 32 tahun sudah ditambang akan mulai menurun produksinya pada 2019 mendatang. "Tahun ini dia akan habis yang open pit-nya. Akan turun produksinya," ujar Budi di DPR, Senin (23/7).

Hanya saja, kata Budi, pihak Freeport Indonesia sudah meminta izin untuk menambang di bagian underground. Cadangan yang berada di underground saat ini memiliki cadangan dengan potensi 150 miliar dolar.  "Makanya mereka minta untuk ngambil underground. Nanti di 2022 akan naik dan di 2023 mendatang baru akan masuk reveneu," ujar Budi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement