REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan awal musim hujan mundur. Musim hujan diprakirakan terjadi pada Oktober sehingga musim kemarau kali ini lebih panjang, maka perlu diwaspadai potensi kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan.
"Awal musim hujan tidak serentak terjadi, sebagian besar pada Oktober berarti musim kemarau tambah panjang, maka potensi kekeringan dan kebakaran lahan juga lebih panjang," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di Jakarta, Selasa (4/9).
Kondisi tersebut terutama terjadi di Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Sumatra. Pada pertengahan Februari 2018, BMKG telah merilis awal musim kemarau di Indonesia akan terjadi mulai April dan Mei 2018. Berdasarkan hasil monitoring perkembangan musim kemarau hingga akhir Agustus 2018 menunjukkan hampir seluruh wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau, yaitu sebanyak 99,12 persen.
Sedangkan sisanya 0,88 persen belum memasuki musim kemarau meliputi Payakumbuh Provinsi Sumatra Barat, Pulau Buru bagian utara (Maluku), dan Pulau Seram bagian selatan (Maluku). Sementara itu untuk kondisi El-Nino, Dwikorita menjelaskan akan melemah dan diprediksi berpeluang aktif pada September 2018 hingga awal 2019.
El Nino lemah ditandai oleh lebih panasnya suhu muka laut di wilayah Pasifik bagian tengah atau dikenal dengan indek ENSO positif. Kondisi ini, akan berdampak langsung pada peralihan sirkulasi angin Timuran menjadi Angin Baratan akan sedikit terlambat, kondisi inilah yang secara tidak langsung menyebabkan awal musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia menjadi terlambat dari biasanya atau klimatologisnya.
Namun, dijelaskan diawal 2019 diprakirakan aktifnya monsun Baratan akan lebih mendominasi terjadinya variasi musim di Indonesia dibandingkan dengan pengaruh el nino, karena el nino diprediksi akan kembali netral di awal 2019.