REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Dirjen PAUD dan Dikmas) Harris Iskandar mengatakan desa miskin menjadi sumber kantong dengan warga yang buta aksara. "Buta aksara adanya di desa-desa miskin, terutama pada ibu-ibu," kata Harris dalam acara Taklimat Media di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Senayan, Jakarta, Selasa (4/9).
Dia mengatakan kemiskinan berkaitan dengan kebutaaksaraan yang juga harus dituntaskan. "Kalau kita mau tuntaskan kebutaaksaraan, kita juga harus tuntaskan kemiskinan," ujarnya.
Sebagai bagian dari upaya penuntasan kebutaaksaraan, Harris mengadakan gerakan pemberdayaan perempuan mandiri untuk belajar berwirausaha bagi kaum perempuan. Pendekatan itu dilakukan untuk menarik minat ibu rumah tangga belajar agar melek aksara.
"Dari data kami antara buta aksara dan kemiskinan berkelindan hampir sama," ujarnya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah merumuskan upaya penuntasan buta aksara dengan memprioritaskan pada daerah-daerah yakni kabupaten dan kota dengan persentase buta aksara di atas empat persen, komunitas adat terpencil dan khusus serta daerah tertinggal, terdepan dan terluar.
Selain itu Kemdikbud juga melakukan peningkatan kapasitas dan kompetensi tutor pendidikan keaksaraan, mendiversifikasikan layanan program, dan memangkas birokrasi layanan program melalui aplikasi daring sibopaksara.kemdikbud.go.id.
Saat ini, ada sekitar 3.000-an tutor yang berperan dalam menuntaskan kebutaaksaraan yang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun upaya dalam rangka menuntaskan kebutaaksaraan di Indonesia adalah antara lain pembangunan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, Gerakan Indonesia Membaca, Gerakan Literasi Sekolah, Gerakan Literasi Keluarga dan Kampung Literasi.
Harris mengatakan juga mendirikan dan menguatkan Taman Bacaan Masyarakat, salah satunya dengan memberikan donasi buku dari Kemdikbud meningkatkan gairah masyarkat untuk membaca buku. Dia menuturkan rendahnya minat baca buku warga bukan sepenuhnya karena mereka tidak memiliki keinginan membaca namun karena ketersediaan buku yang kurang.
Dia mengatakan di kampung-kampung sangat jarang terdapat buku, itu juga menjadi perhatian bagi pihaknya. Masyarakat tidak hanya sekadar diminta membaca buku, tapi buku yang dibaca juga harus menarik (engaging) dan disesuaikan dengan kebutuhan warga sebagai suatu pendekatan untuk meningkatkan penduduk yang melek aksara.
Misalkan, untuk ibu-ibu dapat disediakan buku bacaan tentang cara memasak dan bercocok tanam agar menarik minat mereka membaca sehingga kemampuan literasi berkembang. "Kalau kita mau tuntaskan kebutaaskaraan kita dorong ibu-ibu di desa miskin agar berdaya. Caranya kita dekati dengan kewirausahaan buat kue bersama-sama, membuat kerajinan daerah semacam anyaman, keranjang kue tapi dari situ menghasilkan uang," ujarnya.
Oleh karena itu, selain minat dan pemahaman warga tentang pentingnya membaca buku, Harris menuturkan tantangan ke depan juga adalah meningkatkan kualitas buku dan industrialisasi buku sehingga daerah-daerah hingga ke pelosok bisa menjangkau buku atau bacaan dengan mudah.
"Tantangan ke depan itu bagaimana kita meningkatkan jumlah penulis, jumlah buku dan mutu buku itu sendiri," ujarnya.
Pemerintah Indonesia terus berkomitmen menuntaskan kebutaaksaraan dan mengajak seluruh masyarakat untuk peduli terhadap penuntasan buta aksara. Masih ada 11 provinsi yang memiliki angka buta huruf di atas angka nasional yaitu Papua (28,75 persen), Nusa Tenggara Barat (7,91 persen), Nusa Tenggara Timur (5,15 persen), Sulawesi Barat (4,58 persen), Kalimantan Barat (4,50 persen), Sulawesi Selatan (4,49 persen), Bali (3,57 persen), Jawa Timur (3,47 persen), Kalimantan Utara (2,90 persen), Sulawesi Tenggara (2,74 persen), dan Jawa Tengah (2,20 persen).
Sementara 23 provinsi lain sudah berada di bawah angka nasional seperti Sumatra Utara, Lampung, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Bengkulu, Gorontalo dan Maluku Utara.