Selasa 04 Sep 2018 12:23 WIB

Mau Sampai Kapan Rupiah Melemah?

Pelemahan rupiah terdalam sejak krisis 1998.

Rep: Adinda/Iit/Ahmad Fikri Noor/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas menghitung pecahan dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta,Ahad (2/9).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menghitung pecahan dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta,Ahad (2/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS masih terus tertekan. Kendati beragam kebijakan telah digelontorkan oleh Bank Indonesia maupun pemerintah, namun belum bisa menghentikan laju pelemahan rupiah. 

Pada Selasa (4/9) pagi rupiah sudah dibuka melemah 30 poin ke posisi Rp 14.845 per dolar AS. Sejumlah analis memprediksi rupiah bisa menyentuh Rp 15 ribu per dolar AS. 

Pemerintah menilai, pelemahan rupiah kali disebabkan oleh faktor eksternal. Menko Perekonomian Darmin Nasution menuding pelemahan disebabkan oleh krisis ekonomi yang terjadi di Argentina. Senada dengan Darmin, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut Argetina dan Turki sebagai penyebab depresiasi kali ini.

Sri pun menyebut krisis di kedua negara tersebut tak akan selesai dalam waktu dekat. "Kita harus antisipasi bahwa tekanan ini akan terus berlangsung," kata Sri di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (3/9).

Sri berulangkali mengakui persoalan utama ekonomi Indonesia saat ini adalah defisit neraca pembayaran. Defisit membuat rupiah mudah terguncang. Karena itu, pemerintah telah mulai menerapkan sejumlah langkah.

Baca juga, Rupiah Melemah ke Rp 14.815 per Dolar AS.

Salah satu yang paling penting adalah memberlakukan pembatasan impor terhadap 900 jenis barang. Harapannya, pembatasan itu akan mengurangi defisit necara dagang dan memperkuat stok dolar dalam negeri.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhustira memprediksi, jika terus melemah, nilai tukar rupiah hingga akhir 2018 bisa di kisaran Rp 14.900 per dolar AS. Pelemahan rupiah secara rata rata ini, kata ia, memang yang terdalam sejak krisis 1998. Pemerintah, perlu memperkuat koordinasi fiskal dan moneter. Dalam pelaksanaan ini pemerintah perlu memastikan jalannya fiskal dan moneter tidak sendiri-sendiri.

Jika melihat posisi BI saat ini, menurut Bhima, seharusnya bank sentral masih punya ruang untuk naikkan bunga acuan 50 basis point pada September dan Desember 2018. Terlebih saat ini tekanan akan terus menguat saat Fed rate kemungkinan naik pada September dan Desember.

"Tapi memang sebenarnya jika pemerintah sudah menaikkan suku bunga acuan memang efeknya ini tidak terlalu besar. Tapi paling tidak dengan begitu pemerintah bisa menunda agar rupiah tidak terjun ke Rp 15.000 per dolar AS," ujarnya.

Baca juga, Dibuka Melemah, Kurs Rupiah Langsung Berbalik Menguat.

Ketua Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Anggawira menilai, depresiasi kurs rupiah terhadap dolar saat ini bahaya. Pemerintah dan pengusaha tidak boleh menganggap enteng kondisi rupiah terhadap dolar yang hampir mendekati Rp 15 ribu per dolar AS.

"Nanti jika pihak swasta yang meminjam anggaran negara dan pas jatuh tempo tak mampu bayar karena beratnya kurs. Ini sangat beresiko," tuturnya melalui siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (3/9).

Tidak hanya terhadap pengusaha, pelemahan rupiah juga akan berimbas pada masyarakat. Sebab, masyarakat adalah konsumen dari bahan pokok yang bisa terjadi akibat depresiasinya nilai tukar rupiah.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usmanmengakui pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) turut berdampak terhadap industri tekstil dan garmen dalam negeri. Biaya produksi menjadi naik sehingga para pengusaha harus meningkatkan biaya jual hingga delapan persen.

photo
Obat kuat untuk rupiah.

Ade menuturkan, kenaikan harga tersebut sudah diberlakukan sejak Senin (3/9) ketika rupiah sudah menyentuh Rp 14.800an per dolar AS. Kenaikan harga berlaku oleh hampir semua pengusaha tekstil dan garmen di Indonesia. "Ini efek dari cost kami yang naik," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (4/9).

Biaya produksi untuk menjalankan bisnisnya bertambah dari segi bahan baku dan listrik yang juga dibayar dengan menggunakan dolar. Meski tidak menyebutkan persentase peningkatan cost, Ade menuturkan bahwa kenaikan tersebut cukup signifikan.

Dari seluruh pengusaha tekstil dan garmen, mereka yang berorientasi pasar domestik menjadi pihak paling terdampak. Sebab, mereka harus membeli bahan baku dari luar negeri dengan mata uang dolar AS, sedangkan penjualannya dengan rupiah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement