REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengatakan saat ini belum memutuskan apakah Partai Golkar bisa dikenai pidana korporasi dalam kasus suap PLTU-1 Riau. Namun, KPK saat ini sudah mengantongi alat bukti yang disebut penting dalam kasus yang melibatkan mantan Sekretaris Jenderal (sekjen) Partai Golkar, Idrus Marham itu.
Sebagaimana diketahui, ada bukti bahwa dana suap PLTU-1 Riau itu disalurkan untuk Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar. Bukti tersebut juga mengungkapkan sejumlah komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini.
Namun, KPK belum memutuskan apakah Golkar sebagai parpol bisa disamakan dengan korporasi. Karenanya, pemberlakuan pidana korporasi untuk parpol berlambang pohon beringin itu pun belum bisa dipastikan.
"Tentu akan kami lihat dalam perkembangan seperti apa, apakah bisa itu parpol disamakan dengan korporasi," ujar Alexander saat lokakarya bersama wartawan di Pulau Ayer, Jakarta, Sabtu (1/9).
Meski demikian, saat ini sudah ada bukti paling kuat yang dipegang KPK terkait kasus ini. Bukti tersebut yakni komunikasi antara tersangka Eni Maulani Saragih dengan Idrus Marham.
Bukti ini pun sudah didukung oleh keterangan Johannes Budisustrisno Kotjo. "Intinya apa, Eni ketika menerima uang dia selalu lapor ke Idrus Marham untuk disampaikan. Idrus juga mengetahui Eni itu menerima uang dan sebagian dari uang itu digunakan untuk Munaslub Golkar. Pada saat itu kan Idrus Marham kan masih sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar," jelasnya.
Sebelumnya, KPK menyatakan akan membuktikan aliran uang suap mantan wakil ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih ke acara Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar pada pertengahan Desember 2017. Eni diketahui menjabat sebagai Bendahara Pelaksana Munaslub ketika menerima suap sebesar Rp 6,25 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Recourses Limited Johannes B Kotjo.
Dalam kasus suap tersebut, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka. Ketiga tersangka itu antara lain, Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih, bos Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo dan Idrus Marham.