REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan terus mendalami pengakuan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih terkait aliran dana suap proyek pembangunan PLTU Riau-I ke Partai Golkar. Salah satu yang akan ditelisik adalah dugaan keterlibatan elite Golkar lainnya.
"Penyidik akan memakai intusinya seperti apa mereka kan mengembangkan kasus tersebut," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat dikonfirmasi, Jumat (31/8).
"Pengembangan kasus ini masih berjalan, kalau ada perkembangan akan ada ekspose nantinya," tambahnya.
Baca juga: Kiai Ma'ruf: Yusuf Mansur Masuk Tim Kampanye Jokowi
Sementara Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya akan mendalami semua pengakuan Eni kepada penyidik, baik soal perintah partai dan elit Golkar untuk meloloskan Blackgold Natural Resources Limited milik Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) atau pun adanya aliran dana suap PLTU Riau-I ke Munaslub Golkar. Sehingga, penyidik membutuhkan keteranga sejumlah saksi dari berbagai unsur, khususnya dari elite Partai Golkar.
"Nanti saksi-saksi akan dipanggil untuk mengklarifikasi aliran dana tersebut. Termasuk untuk mengklarifikasi dugaan penggunaan dana untuk kegiatan parpol," terang Febri.
Sebelumnya, Eni mengakui sebagian uang sebesar Rp2 miliar yang diterima dari kesepakatan kontrak kerja sama proyek pembangunan PLTU Riau-1 digunakan untuk kegiatan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar. Dalam Munaslub yang digelar pada pertengahan Desember 2017 lalu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto terpilih aklamasi sebagai ketua umum mengganti Setya Novanto.
Diduga, Eni menerima jatah sejumlah Rp6,25 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Recourses Limited Johannes B Kotjo secara bertahap, dengan rincian Rp4 miliar sekitar November-Desember 2017 dan Rp2,25 miliar pada Maret-Juni 2018.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga orang tersangka Ketiga tersangka itu antara lain, Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih, bos Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo dan teranyar Idrus Marham.
Baca juga: Fadli Zon Tanggapi Yusuf Mansur yang Masuk ke Kubu Jokowi
Diduga saat menjabat sebagai PIt Ketua Umum Partai Golkar periode November sampai dengan Desember 2017 dan Menteri Sosial, Idrus diduga mengetahui dan memiliki andiI terkait dengan penerimaan uang oleh Eni dari Johannes. Diketahui, sekitar November Desember 2017 dIduga Eni menerima Rp 4 Miliar. Lalu, sekitar bulan Maret dan Juni 2018 diduga Eni jiga menerima sekitar Rp2,25 Miliar.
Idrus juga diduga berperan mendorong agar proses penandatanganan Purchase Power Agreement (PPM/jual beli dalam proyek pembangunan PLTU mulut tambang Riau 1. Selain itu, Idrus juga diduga telah menerima janji untuk mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah Eni sebesar 1,5 juta dollar AS yang dijanjikan Johannes apabila PPA Proyek PLTU Riau 1 berhasil dllaksanakan oleh Johannes dan kawan-kawan.
Dalam penyidikan perkara awal yang sudah dilakukan sejak 14 Juli 2018 hingga hari ini sekurangnya penyidik telah memeriksa 28 orang saksi. Atas perbuatannya, Idrus disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ke-2 KUHPJuncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Baca juga: Dul "Taklukkan Dunia" tanpa Bantuan Dhani dan Maia