REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, pemerintahan daerah merupakan lembaga dengan jumlah kasus korupsi terbanyak. Korupsi pemerintah daerah tercatat mencapai 267 kasus dengan 378 tersangka dan kerugian negara Rp 1,3 triliun. Data tersebut menegaskan korupsi pemerintahan daerah masih menjadi persoalan besar.
Peneliti ICW yang juga sebagai Anggota Divisi Korupsi Politik ICW, Almas Sjafrina mengatakan, butuh kepala daerah yang berkompetensi dan berintegritas untuk membenahi persoalan korupsi di pemerintahan daerah. Namun masalahnya, partai politik masih banyak yang mencalonkan orang bermasalah sebagai calon kepala daerah.
"Sepuluh di antaranya bahkan berstatus hukum tersangka dugaan korupsi (saat menjadi calon kepala daerah pada Pilkada 2018)," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (30/8).
Kesepuluh itu adalah Marianus Sae, Nyono Suharli Wihandoko, Imas Aryumningsih, Asrun, Mustafa, Yaqud Ananda Gudban, M. Anton, Ahmad Hidayat Mus, Syahri Mulyo, Nehemia Wospakrik. Dari 10 nama ini, tiga orang terpilih. Mereka adalah Ahmad Hidayat Mus sebagai gubernur Maluku Utara, Syahri Mulyo sebagai bupati Tulungagung, dan Nemehia Wospakrik sebagai wakil bupati Biak Numfor.
Ahmad Hidayat Mus dan Syahri Mulyo ditetapkan tersangka oleh KPK pada 2018, menjelang diselenggarakannya Pilkada 2018. Keduanya saat ini tengah ditahan sehingga tidak dapat aktif mempersiapkan diri sebagai kepala daerah.
"Sedangkan Nehemia Wospakrik diduga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Biak Numfor sejak tahun 2011 atas dugaan korupsi perjalanan dinas Ketua DPRD Biak Numfor tahun anggaran 2010," kata dia.
Pada saat itu, Nehemia menjabat sebagai Ketua DPRD Biak Numfor. Artinya, sudah delapan tahun kasus ini belum tuntas penyelesaian penanganan perkaranya. Nehemia juga ikut dan terpilih dalam Pemilu Legislatif 2014.
Almas menjelaskan, tiga kepala daerah terpilih yang diduga berstatus tersangka itu akan tetap dilantik sebagai kepala daerah, merujuk pada pasal 164 dan 165 UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Bahkan, Kemendagri akan tetap melakukan pelantikan meski tersangka telah ditahan.
"Kemendagri akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk pelantikan tersebut," tutur dia.
Terpilihnya orang bermasalah dalam Pilkada, kata Almas, patut dimaknai sebagai persoalan yang dapat menghambat kemajuan daerah. Adakalanya masyarakat tidak mengetahui rekam jejak buruk atau terbatas pilihannya dalam Pilkada sehingga tetap memilih tersangka korupsi.
"Terlebih lagi pada aktor yang diduga telah lama ditetapkan sebagai tersangka. Pertanyaannya, mengapa partai politik masih mencalonkan tersangka kasus korupsi?," ujar dia.