Kamis 30 Aug 2018 15:17 WIB

Akankah Pemerintah Tiru Konstruksi Rumah Suku Sasak?

400 insinyur dikirim ke NTB untuk memulai rehabilitasi dan rekonstruksi rumah rusak.

Rep: Antara, Dessy Suciati Saputri, Iman Firmansyah/ Red: Andri Saubani
Kondisi rumah yang rusak  akibat gempa  di kecamatan pemenang, Lombok Utara, NTB, Rabu (8/8).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Kondisi rumah yang rusak akibat gempa di kecamatan pemenang, Lombok Utara, NTB, Rabu (8/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengirimkan 400 insinyur muda CPNS ke Lombok untuk mendampingi masyarakat membangun kembali rumah mereka yang rusak akibat bencana gempa bumi. Rumah yang tahan gempa menjadi fokus karena korban gempa sejatinya meninggal bukan karena aktivitas seismik, namun akibat tertimpa reruntuhan bangunan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, hingga hari Rabu (29/8) tercatat sebanyak 32.129 rumah di lombok rusak akibat diguncang oleh rentetan gempa bumi. Sebanyak 16.231 rumah di antaranya mengalami kerusakan berat. Sisanya, rusak sedang dan rusak ringan.

Melalui akun Twitter pribadinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan, perbaikan rumah yang rusak akan segera dimulai pada 1 September 2018. Dikutip dari siaran resmi Istana, pembangunan dan perbaikan rumah masyarakat ditargetkan akan selesai dalam waktu enam bulan ke depan.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyampaikan, pemberangkatan 400 tenaga insinyur muda tersebut akan dilakukan secara bertahap mulai Kamis (30/8). Pada Selasa, (28/8), Basuki memberikan pengarahan kepada para CPNS yang akan diberangkatkan ke Lombok.

“Prinsipnya adalah build back better. Mereka akan dilatih 1-2 hari mengenai rumah tahan gempa yakni Risha (Rumah Instan Sederhana Sehat) yang merupakan hasil inovasi Balitbang Kementerian PUPR sebelum disebar ke berbagai lokasi di NTB khususnya Pulau Lombok. Di Lombok saat ini sudah ada aplikator Risha yang akan mengajarkan cara membuat dan merakit Risha serta sudah ada rumah contoh yang dibangun serta cetakan beton modularnya. Mereka akan bertugas minimal satu bulan,” kata Basuki.

Basuki menambahkan, dalam melakukan pendampingan nantinya akan dibentuk tim fasilitator yang terdiri dari 9-10 orang yang bertanggung jawab untuk pendampingan rehab-rekon 100-150 rumah. Namun, banyaknya jumlah dan luasnya sebaran rumah yang rusak membutuhkan tenaga fasilitator yang banyak pula.

Diperkirakan kebutuhan tenaga pendamping untuk perbaikan sekitar 74 ribu unit rumah diperlukan sebanyak 2.000 tenaga fasilitator. Oleh karena itu, Kementerian PUPR juga mengajak keterlibatan mahasiswa teknik PTN/PTS untuk menjadi bagian dari tim fasilitator sebagai bagian dari kuliah kerja nyata (KKN) mahasiswa dalam mempercepat proses rehab-rekon.

Sementara itu, Dirjen Cipta Karya Danis H Sumadilaga mengatakan, pemerintah memberikan bantuan sebesar Rp 50 juta untuk rumah rusak berat, Rp 25 juta rumah rusak sedang dan Rp 10 juta untuk memperbaiki rumah rusak ringan. Perkuatan struktur rumah tidak hanya diperlukan pada rumah yang mengalami rusak berat, namun rumah-rumah dengan kategori rusak sedang dan rusak ringan. Hal ini dikarenakan hampir seluruh rumah yang rusak disebabkan tidak memiliki struktur bangunan yang baik seperti tidak adanya kolom dan tulangan besi.

Untuk fasilitas publik seperti pasar, sekolah, rumah ibadah, puskesmas dan rumah sakit ditargetkan bisa kembali berfungsi memberikan pelayanan pada Desember 2018. Jumlah fasilitas publik yang rusak masih terus dilakukan verifikasi.

Sementara ini jumlah sekolah yang rusak 330 buah terdiri dari 14 Taman Kanak, 175 Sekolah Dasar, 67 SMP/MTS, serta 74 SMA/MA. Sedangkan Rumah Ibadah sebanyak 6 rusak, Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesdes, dan Posyandu  sebanyak  118 rusak, sedangkan untuk Pasar  sebanyak 22 juga dilaporkan rusak.

“Angka ini masih terus bergerak. Untuk fasilitas publik, seperti pasar yang sudah mulai kita kerjakan rekonstruksinya, yakni Pasar Tanjung dan Pasar Pemenang,” ujar Danis.

Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, BNPB juga telah menyalurkan bantuan perbaikan rumah sebesar Rp 250 miliar. Permintaan tambahan anggaran kepada Kementerian Keuangan untuk bantuan perbaikan rumah juga telah diajukan.

Sementara menunggu pencairan anggaran, upaya mempercepat perbaikan rumah terus dilakukan. Adapun, perbaikan perumahan dan permukiman akan dikerjakan oleh masyarakat melalui pola Rekompak (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Permukiman Berbasis Komunitas).

“Pola Rekompak ini telah berhasil diterapkan dalam pascabencana gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006, pascaerupsi Gunung Merapi tahun 2010, pascagempa Pidie Jaya 2016,” kata Sutopo.

Sementara itu, perbaikan darurat fasilitas publik seperti pasar darurat, sekolah, puskesmas, perkantoran juga dilakukan agar aktivitas masyarakat dapat segera berjalan kembali. Sebagian masyarakat telah kembali melakukan aktivitas di pasar. Sebagian juga tetap melakukan aktivitas di ladang, kebun dan lahan pertaniannya.

Pembersihan puing-puing bangunan roboh pun masih terus dilakukan oleh aparat gabungan dengan mengerahkan alat-alat berat. Masyarakat di Lombok dan Sumbawa juga bergotong royong memperbaiki rumah dan membersihkan lingkungan pascagempa.

Masyarakat adat di Desa Senaru, Lombok Utara, misalnya, meskipun daerahnya hancur akibat diguncang gempa berkali-kali, mereka tetap bertahan hidup dengan semangat kebersamaan. “Masyarakat segera bergotong royong untuk kembali bangkit setelah bencana yang melanda. Semangat kegotongroyongan dalam membangun kembali desa adat Senaru yang terdampak gempa, baginya itulah semangat asli dari suku Sasak,” kata Sutopo.

Rumah suku Sasak

Pada Rabu (29/8) BNPB melalui akun Twitter, mengunggah ilustrasi menarik soal bagaimana nenek moyang kita sebenarnya sudah membangun rumah tradisonal yang aman dan tahan gempa. Ilustrasi delapan rumah tradisional yang diunggah BNPB seperti ingin mengingatkan bahwa dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi rumah rusak di Lombok, pemerintah juga harus memperhatikan nilai-nilai lokal.

Di tengah berbagai kerusakan yang terjadi di Lombok, sebenarnya ada perkampungan yang hampir tidak mengalami kerusakan berarti akibat guncangan gempa bumi. Adalah Kampung Sade yang terdapat di wilayah Lombok tengah. Kampung adat tertua yang diperkirakan berdiri sejak 1089 M.

Bangunan di kampung yang berpenghuni 150 kepala keluarga suku asli Sasak ini menjadi rumah antigempa tradisional. Setiap rumahnya terbuat dari bahan baku alami seperti alang- alang, bambu dan tanah liat.

“Karena itulah rumah Kami  dari berbahan alami jadi tahan ketika ada guncangan,” ujar Mardun salah seorang warga Desa Sade. “Yang Kami takutkan di sini adalah kebakaran. Karena bahan rumah kami yang mudah terbakar,” imbuhnya. 

Selain memiliki konstruksi antigempa. Kampung ini pun kampung wisata yang terbuka selama 24 jam. Karena, kampung wisata ini dihuni warga sehingga bisa didatangi wisatawan kapan pun, tidak seperti  tempat wisata lainnya.

photo
Jalan raya di depan Kampung Adat Sade di Desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah.

Wisatawan datang menikmati suasana perkampungan dengan rumah-rumah beratapkan alang-alang. Aktivitas warga Kampung Sade pun menjadi daya tarik tersendiri. Mulai dari memenenun kain tradisional, membuat topi atau anak bermain hingga aktivitas  warga lainnya.

Peristiwa gempa berkepanjanga akhir-akhir ini membuktikan kehebatan leluhur kita dalam membangun rumah. Bangunan yang dibuat berdasarkan kearifan lokal dan kondisi sosial geografis setempat.

photo
Gerbang depan Kampung Adat Sade di Desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah.

Apakah ratusan insinyur yang dikirim pemerintah pusat ke Lombok akan juga meniru konstruksi warisan leluhur rumah milik suku Sasak? Atau Kementerian PUPR akan membangun rumah modern dengan konstruksi tahan gempa di Lombok? Menarik ditunggu hasil rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan dimulai pekan ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement