REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov) mengetahui proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. KPK pun pada Senin (27/8) meminta keterangan Setnov sebagai saksi untuk tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) yang merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited.
"Ya intinya seperti ini bahwa berdasarkan keterangan awal yang didapatkan penyidik bahwa Pak SN (Setya Novanto) dianggap mengetahui. Oleh karena itu, penyidik berkepentingan untuk meminta keterangan dari yang bersangkutan agar lebih menjadi jelas," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung KPK, Jakarta, Senin.
Selain Johannes, KPK juga telah menetapkan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih (EMS) dan mantan Menteri Sosial dan Plt Ketua Umum Partai Golkar November-Desember 2017 Idrus Marham (IM) sebagai tersangka. Menurut Syarif, berdasarkan gelar perkara yang dilakukan KPK terkait kasus itu diduga Novanto mengetahui proyek tersebut.
"Waktu itu tentunya karena dicurigai ada beberapa hal yang berhubungan dengan Pak SN dalam kapasitas apa saya belum tau detilnya tetapi berdasarkan gelar perkara yang saya ikuti Pak SN mengetahui adanya proyek ini," ungkap Syarif.
Namun, ia menyatakan belum mengetahui apakan Novanto juga ikut andil untuk meloloskan proyek tersebut di DPR. "Ya detailnya belum bisa saya sampaikan tetapi yang saya bisa konfirmasi bahwa beliau dianggap mengetahui proyek itu sehingga perlu dimintai keterangan," kata dia.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap Novanto sebagai saksi untuk memperjelas dan membuat lebih terang konstruksi perkara tersebut seperti apa terhadap tiga tersangka itu. Menurut Febri, KPK memeriksa saksi-saksi penting sebelum memeriksa tersangka.
"Tadi, terkait kapasitas SN (Setya Novanto) sebagai apa? Itu ada dua kapasitas. Dilihat dari peristiwa terjadinya rangkaian perbuatan di kasus PLTU Riau ini, lalu dilihat sebagai kepengurusan Partai Golkar saat itu dan kedua sebagai Ketua DPR saat itu, jadi ada dua kapasitas," ucap Febri.
"Ya intinya seperti ini bahwa berdasarkan keterangan awal yang didapatkan penyidik bahwa Pak SN (Setya Novanto) dianggap mengetahui." Wakil Ketua KPK Laode M Syarif
Kasus Bakamla
Pada hari yang sama Setnov diperiksa KPK, staf operasional PT Merial Esa M Adami Okta memberiksan kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Ia menyebut Setnov mengetahui mengenai pemberian fee terkait pengurusan anggaran di Badan Keamanan (Bakamla) yang melibatkan anggota DPR dari fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi.
"Iya setelah pertemuan (hotel) Fairmont Pak Fahmi (Darmawansyah) memberitahukan soal uang enam persen sudah dikasih ke Ali Habsyi, terus Fayakhun kecewa dan mengajak kami ke kediaman Setya Novanto," kata Adami yang menjadi saksi untuk terdakwa Fayakhun Andriadi.
Dalam kasus Bakamla, Fayakhun didakwa menerima suap 911.480 dolar AS dari Fahmi Darmawansyah untuk pengadan satelit moniotring dan drone dalam APBN Perubahan 2016. Fahmi Darmawansyah adalah Direktur PT Merial Esa sedangkan Ali Habsyi alias Fahmi Habsyi adalah staf khusus di Bakamla.
"Saat mengurus anggaran, Ali Habsy mengaku mengurus ke Komisi I, dia cerita ke Fahmi (Darmawansyah) yang mengurus anggaran itu Pak Fayakhun, lalu Ali Habsy mengarahkan kami ke Fayakahun memang jalurnya ke situ, tapi ternyata dispute karena Pak Fayakhun dengan Ali Habsy masing-masing mengklaim itu kerja mereka," ungkap Adami.
Karena perselisihan itu maka Fayakhun meminta Ali Habsyi dan Fahmi Darmawansyah untuk bertemu meluruskan persoalan itu. "Waktu di Hotel Fairmont Pak Fayakhun mengatakan ingin ketemu dengan Ali dan Fahmi biar clear ini kerjaan siapa sih tapi Habsyi tidak mau datang," tambah Adami.
Padahal, Fahmi Darmawansyah telah mengeluarkan uang sebesar Rp 54 miliar untuk Ali Fahmi dan 911.480 dolar AS untuk Fayakhun untuk pengurusan anggaran. "Di rumah Pak Setya Novanto Pak Fahmi menjelaskan kepada Pak Fayakhun dan Pak Novanto bahwa uang sudah digeser ke Ali Habsyi. Kita diminta menjelaskan langsung oleh Pak Fayakhun bahwa uang sudah dikirim ke Habsyi karena Pak Fayakhun kecewa kenapa dikasih ke Habsyi," tutur Adami, menjelaskan.
Setya Novanto saat pertemuan itu juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Menurut Adami, uang untuk Fayahun itu dibagikan ke anggota Komisi I.
"300 ribu dolar AS diminta sudah dekat Kongres Munas Golkar, juga dibagi-bagi ke Komisi I katanya petinggi sudah, kurcaci belum, tapi maksudnya saya tidak tahu," tambah Adami.
Seusai diperiksa penyidik KPK kemarin, Setnov menyatakan, tidak mengetahui mengenai kasus dugaan suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Setnov sendiri saat ini tengah menjalani vonis 15 tahun penjara dalam kasus terkait proyek KTP-elektronik.
"Waduh tidak tahu saya tuh, kan Saya sudah masuk (tahanan)," kata Setya Novanto di gedung KPK Jakarta, Senin.
Novanto pun enggan menjelaskan lebih lanjut apa yang dikonfirmasi penyidik terhadap dirinya dalam pemeriksaannya tersebut.
"Tidak ada," kata Novanto.
Ihwal penetapan mantan koleganya di Golkar, Idrus Marham yang telah ditetapkan sebagai tersangka, Setnov mengaku kaget. Setnov pun mengingatkan KPK agar merampungkan kasus KTP-el.
"Cukup kaget juga ya (dengan penetapan Idrus sebagai tersangka), dia orang kerja keras, tapi ya ini kan kita lihatlah, yang penting soal KTP-el juga harus tuntas. Soal Mendagri yang memang punya peran dia dan juga ketua badan anggaran saat itu ya," ungkap Setnov.
Kasus suap terkait proyek PLTU Riau-1 berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) penyidik KPK pada Jumat (13/7) terhadap Eni. KPK pun mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu yaitu uang Rp 500 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp 500 juta tersebut.
Diduga, penerimaan uang sebesar Rp 500 juta merupakan bagian dari commitment fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. Sebelumnya, Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp 4,8 miliar. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.
Proyek PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek pembakit listrik 35.000 MW secara keseluruhan. PLTU Riau-1 masih pada tahap letter of intent (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 MW dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA). PLTU tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2020 dengan kapasitas 2 x 300 MW dengan nilai proyek 900 juta dolar AS atau setara Rp 12,8 triliun.
Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51 persen sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49 persen konsorsium yang terdiri dari Huadian dan Samantaka.
Baca juga:
- KPK tak Ingin Gegabah Tetapkan Sofyan Basir Tersangka
- KPK Dalami Peran Sofyan Basir
- Dirut PLN Sofyan Basir Kini Irit Bicara Usai Diperiksa KPK
[video] Disambangi KPK, Sofyan Basir akan Hormati Proses Hukum