REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Pendi tampak gusar. Jemarinya terus memainkan telepon seluler (ponsel) untuk mendengarkan pesan suara dalam layanan aplikasi WhatsApp. Teriakan-teriakan bahwa air laut naik berbunyi begitu ia menekan tombol play.
Tanpa pikir panjang, pedagang warung makan di daerah Kekalik Jaya, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram, itu langsung mengambil sepeda motornya menuju jalan raya di Kota Mataram. "Pokoknya pikiran saya saat itu keluar dulu deh dari kos. Cari tempat yang lebih tinggi," ujarnya sembari mengingat kejadian mencekam pada Ahad (5/8) malam.
Gempa berkekuatan magnitudo 7 Skala Richter (SR) pada malam itu membuat panik hampir seluruh warga di Pulau Lombok, termasuk di Kota Mataram, yang menjadi ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Ruas jalan raya yang biasanya lengang menjadi begitu padat oleh kendaraan.
Padamnya aliran listrik kian menambah suasana mencekam. Selang berapa jam kemudian, kondisi berangsur normal setelah adanya pengumuman bahwa potensi tsunami yang sempat dikeluarkan BMKG dinyatakan berakhir.
Hari-hari berikutnya, gempa seolah tak mau pergi dari Pulau Seribu Masjid, meski dalam guncangan yang relatif lebih kecil. Pelan-pelan, masyarakat mulai menata diri, meski banyak yang memilih tidur di luar rumah atau kos.
"Saya masih tidur di luar kos. Soalnya ada info akan ada gempa susulan lagi, jadi masih khawatir," kata pemuda berusia 26 tahun tersebut.
Pendi merupakan satu dari sekian banyak warga Lombok yang menerima pesan berantai tentang adanya gempa susulan dengan skala besar. Terlebih, kata dia, ada juga informasi tentang komplotan pencuri yang diterjunkan untuk mengambil barang-barang milik warga. Belum usai isu pencurian, mulai muncul isu tentang adanya telapak tangan atau kaki yang ada di dinding-dinding rumah warga.
Baru-baru ini, Pendi juga menerima kabar tentang akan adanya bencana besar yang terjadi pada Ahad (26/8) dengan alasan bencana besar kerap terjadi pada tanggal 26 yang kebetulan pada 26 Agustus jatuh pada Ahad. Warga masih sangat khawatir lantaran tiga gempa besar yang terjadi sebelumnya juga terjadi pada Ahad (29/7), Ahad (5/8), dan Ahad (19/8).
Sontak, Mataram pada Ahad (26/8) seakan menjadi kota yang tak bergairah. Banyak usaha yang memilih menutup diri, tak sedikit warga, terutama yang berada di pesisir pantai, memilih menjauh ke rumah saudaranya. Sementara warga lainnya, memilih tinggal di tanah lapang berkumpul bersama warga lain.
Pendi sendiri memilih sedikit melawan arus. Ia tetap membuka usaha warung makan. Dia mengaku telah mendapat informasi dari seorang tuan guru (kyai) yang sedang berada di Tanah Suci.
"Tadi Tuan Guru kirimkan pesan suara, intinya meminta warga tetap tenang, dan InsyaAllah apa yang beredar di media sosial tentang adanya bencana besar itu tidak benar," kata Pendi.
Namun, Pendi tak membuka warungnya sampai malam, seperti biasanya. Ba'da magrib, ia memilih menutup warung karena sepinya pembeli. "Sudah berapa minggu sepi terus karena orang-orang entah pada ke mana, mungkin pada ngungsi kayaknya," ucapnya.
Sejatinya, pemerintah melalui BMKG, TNI, Polri, maupun pemerintah daerah berulangkali menyampaikan warga untuk tidak menelan mentah-mentah isu yang beredar, karena rentan hoaks. Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (Diskominfotik) NTB Tri Budiprayitno mengakui cukup banyaknya hoaks yang beredar pada masa-masa tanggap darurat.
"Gempa sudah meluluhlantakan bangunan fisik, infrastruktur. Hoaks sudah meluluhlantakkan jiwa, semangat, dan psikis kita semua," kata Tri.
Ia meminta dengan sangat kepada pihak-pihak yang memproduksi informasi hoaks untuk segera menghentikan sikapnya. Dia memandang, penyebaran hoaks membuat suasana menjadi semakin tidak nyaman dan juga menambah persoalan dalam penanganan korban gempa.
Tri bersama kepolisian sedang mencari tahu pihak-pihak penyebar hoaks agar bisa ditindak karena sangat meresahkan warga. "Ada beberapa kasus hoaks, polisi siber, TNI siber, dan Diskominfotik juga turun sudah bergerak," ucapnya.
Dia juga meminta peran media arus utama untuk ikut membantu pemerintah dalam menangkal isu hoaks. Kepada masyarakat, Tri mengimbau untuk tidak langsung percaya informasi yang belum jelas kebenarannya dan berasal dari sumber-sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Kalau menerima sesuatu informasi yang dirasa tidak jelas, cukup berhenti di HP-nya, tak perlu share ke sana-sini," kata Tri menambahkan.