REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Gumanti Awaliyah, Amri Amrullah, Novita Intan
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mendesak adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. Revisi dinilai sangat penting dilakukan agar UU tersebut tidak terus-menerus menjadi bola liar.
Komisioner Komnas Perempuan Khariroh Ali menyayangkan vonis terhadap Meiliana, yaitu 1 tahun 6 bulan, atas tuduhan melakukan penodaan agama karena mengomentari volume suara azan di Masjid Al-Maksum Tanjung Balai. Ali menegaskan, dari catatan dan analisis Komnas Perempuan, kasus ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap Meilana.
"Komnas Perempuan memandang bahwa proses hukum pada Ibu Meiliana jangan sampai menjadi proses peradilan yang tidak adil, di mana proses hukum pada seseorang didasarkan bukan pada pelanggaran/kejahatan yang dilakukan, tetapi karena adanya tuntutan massa. Ini jelas bentuk kriminalisasi," ujar Khariroh kepada Republika, Sabtu (25/8).
Dia mengatakan, sebagai salah satu solusi, pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut. Sebab, warga negara Indonesia seperti Meliana dan keluarganya sebagai minoritas sangat rawan didiskriminasi.
"Ibu Meiliana itu sampai mengalami pengusiran paksa, pemiskinan akibat tindakan kelompok intoleran, sehingga hak-hak konstitusionalnya terenggut; hak atas rasa aman dan hak atas jaminan perlindungan," papar Khariroh.
Baca Juga: Kronologi Kasus Penodaan Agama Meiliana
Di sisi lain, Komnas Perempuan juga mendorong Pemerintah Daerah Kota Tanjung Balai agar melakukan langkah-langkah strategis untuk merekonsiliasi konflik yang terjadi. Tentunya dengan melibatkan perempuan sebagai pihak yang dipertimbangkan suara dan partisipasinya.
Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Maneger Nasution meminta semua pihak menghargai proses hukum terkait kasus Meiliana yang telah berjalan. Walaupun ada ketidakpuasan atas proses hukum yang telah berjalan, ia menilai ada upaya hukum lanjutan yang bisa dijalankan untuk meraih keadilan.
Mantan Komisioner Komnas HAM ini sadar ada yang perlu dikoreksi atas sikap masyarakat atas kasus Meiliana ini. "Soal azan adalah hak internum umat Islam yang dijamin konstitusi, tapi dalam pelaksanaannya juga harus mempertimbangkan hak bagi lingkungan sekitar," kata Maneger kepada wartawan, Jumat (24/8).
Menurut dia, ruang saling toleransi dalam mengumandangkan dan menyiarkan suara azan juga harus dipertimbangkan. Di sisi lain, kata dia, orang yang berbeda keyakinan dan/atau orang yang merasa terganggu dengan suara azan sebaiknya menyampaikan aspirasi dengan elegan.
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi menilai masalah tersebut hanya sebatas pada keluhan Ibu Meiliana terkait volume suara azan yang dianggap terlalu keras. "Jika masalahnya hanya sebatas keluhan volume suara azan terlalu keras, saya yakin tidak sampai masuk wilayah penodaan agama," kata Zainut.
Tetapi, ia melanjutkan, sangat berbeda jika keluhannya itu dengan menggunakan kalimat dan kata-kata yang sarkastik dan bernada ejekan, maka keluhannya itu bisa dijerat pasal tindak pidana penodaan agama. Untuk itu, Zainut meminta masyarakat lebih arif dan bijak dalam menyikapi masalah ini karena hal ini menyangkut masalah yang sangat sensitif, yaitu masalah isu agama.
Meiliana (44), terdakwa perkara penodaan agama yang memicu kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai, dua tahun lalu, terus menangis. Dia divonis bersalah dan dijatuhi hukuman satu tahun enam bulan penjara atas perbuatannya.
Baca Juga: 106 Orang Dipidana dengan Pasal Penodaan Agama
Hukuman ini dijatuhkan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (21/8). Majelis hakim menyatakan perempuan itu terbukti bersalah melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 156A KUHP.
Meiliana dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
"Menjatuhkan kepada terdakwa pidana penjara selama satu tahun enam bulan dikurangi masa tahanan," kata hakim ketua, Wahyu Prasetyo Wibowo, Selasa (21/8).
Putusan majelis hakim ini sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, JPU dari Kejari Tanjung Balai, Anggia Y Kesuma, juga meminta agar Meiliana dihukum satu tahun enam bulan penjara.
Keprihatinan dan penyesalan atas vonis yang telah dijatuhkan atas Meiliana juga diungkap Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhd Abdullah Darraz. “Rasa keadilan kita kembali terkoyak karena proses hukum yang abai untuk memberikan rasa keadilan pada warganya. Vonis hukum ini menguatkan dugaan kurangnya pemahaman hakim dan jaksa atas isu-isu hak asasi manusia yang berkembang, terlebih penggunaan rujukan UU PNPS 1965 tentang penodaan agama yang sarat akan peluang pelanggaran HAM,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika, Sabtu.
Darraz menyoroti lemahnya kapasitas dan perspektif penegak hukum dalam menyikapi kasus-kasus sensitif keagamaan. “Ini adalah peran strategis Komisi Yudisial untuk memperkuat pemahaman hakim pada isu-isu HAM dan minoritas. Jangan sampai vonis hakim justru semakin memperuncing konflik di tengah masyarakat” ujar Darraz.
Namun, lebih dari itu, Maarif Institute mengimbau seluruh lapisan masyarakat untuk tetap menghormati proses hukum yang berlaku. Mekanisme hukum tidak dibenarkan untuk diintervensi oleh mekanisme politik ataupun bentuk intervensi lainnya di luar hukum.
Kasus yang menimpa Meiliana dinilai sebagai sebuah dilema relasi masyarakat antaragama di Indonesia. Salah satunya adalah tidak adanya aturan baku mengenai penggunaan pelantang suara untuk rumah ibadah. (ed: nina ch).